Sebuah ironi ketika mimbar akademik dicederai dengan adanya kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswa. Beredar bukti laporan bahwa (bisa dikatakan banyak) mahasiswa(i) mengalami pelecehan seksual oleh oknum dosen yang kita anggap sebagai orangtua di kampus. Perlu digarisbawahi dosen sebagai orangtua di kampus yang dimaksudkan laiknya hubungan orangtua dengan anak adalah dilandasi dengan kasih sayang orangtua yang menjaga dan melindungi anaknya, demikian idealnya. Namun, berbanding terbalik dengan realitanya. Tentu kita juga tidak boleh menggeneralisasikan begitu saja. Dalam KBBI, kita disediakan dengan kata 'oknum'. Penggunaannya untuk menghindari generalisasi tadi.
Apa Bedanya Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual?
Mari kita lihat terlebih dahulu, apa itu kekerasan dan pelecehan seksual. Secara penafsiran, keduanya memang bisa dikatakan hampir mirip, tapi tentu ada perbedaan yang mendasar dari keduanya. Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan, dengan unsur paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi. Sedangkan pelecehan seksual menurut Komnas Perempuan merupakan tindakan bernuansa seksual, baik melalui kontak fisik maupun kontak non-fisik. Tindakan tersebut dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental.
Jika menilik pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada pasal 4 menyebutkan tindak kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual baik fisik maupun nonfisik. Secara garis besar, pelecehan termasuk kekerasan seksual, keduanya terjadi ketika ada unsur pemaksaan.
Ketika melihat dari bentuknya, kekerasan dan pelecehan juga dapat kita jabarkan. Menurut National Sexual Violence Resource Center, contoh bentuk kekerasan seksual yaitu:
- Perkosaan atau penyerangan seksual, termasuk pada pasangan.
- Inses.
- Sentuhan atau kontak seksual yang tidak diinginkan.
- Eksploitasi seksual.
- Menunjukkan genital atau telanjang kepada orang lain tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
- Masturbasi di tempat umum.
- Mengawasi seseorang diam-diam tanpa sepengetahuan dan izin yang bersangkutan (menguntit).
Sedangkan bentuk dari pelecehan seksual, mengutip Rape, Abuse & Incest National Network, contoh perilaku yang termasuk, namun tidak terbatas pada pelecehan seksual, yakni:
- Membuat persyaratan atau kondisi dalam perekrutan karyawan yang meminta kegiatan seksual sebagai bayaran atau pertukaran, secara implisit maupun eksplisit.
- Pelecehan secara verbal yang menyinggung seksualitas atau tubuh seseorang, termasuk candaan yang porno dan vulgar.
- Sentuhan dan kontak fisik yang tidak diinginkan.
- Mendiskusikan hubungan, cerita, atau fantasi seksual di tempat kerja, institusi pendidikan atau tempat lain yang tidak sepantasnya.
- Memaksa untuk berhubungan dengan seseorang secara seksual.
- Mengirimkan pesan teks, email, atau foto yang berbau seksual yang tidak diinginkan oleh penerima.
Dalam kasus yang sedang booming di kampus yang terkenal dengan kemegahan menara pinisinya ini, merupakan bentuk pelecehan seksual. Dimana korban ketika hendak bimbingan mengalami pelecehan oleh oknum dosen dipegang tangannya tanpa persetujuan korban bahkan si pelaku baring di pangkuannya (untuk kronologi rincinya sudah beredar di beberapa media, yang pertama mengangkatnya dari IG @mekdiunm) .
Mengapa Korban Tidak Berani Speak Up?
Pada kesempatan ini, kita akan membahas terkait apa penyebab korban seringkali tidak memberanikan diri untuk speak up. Padahal kasus kekerasan seksual ini ibaratnya fenomena gunung es. Hanya sedikit kelihatannya di permukaan, padahal kasusnya sangat banyak namun belum diungkap. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa, kasus kekerasaan seksual yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021.
Secara psikis,menurut Ester Lianawati seorang Psikolog Feminis ada beberapa penyebab korban idak berani speak up karena mengalami trauma. Yang pertama, korban akan mengalami gangguan stres pasca peristiwa traumatis (posttraumatic stress disorder). Dia akan mengingat terus peristiwa buruk yang telah terjadi, mimpi buruk mengenai peristiwa tersebut, merasa atau bertindak seolah-olah peristiwa itu terjadi kembali.
Yang kedua, mengalami gejala kecenderungan melakukan stimulus generalization, menyamakan semua stimulus yang mirip dengan stimulus awal yang menimbulkan trauma. Semisal, melihat pria yang wajahnya mirip dengan pelaku pelecehan, akan muncul rasa takut terhadap orang tersebut. Kedua gangguan psikis ini yang kemudian menghantui penyintas, sehingga membutuhkan dampingan oleh seorang psikiater untuk membangkitkan dirinya dari trauma tersebut.