[caption caption="Pahlawan Hidupku foto:ahyar "][/caption]Waktu itu selesai solat magrib aku duduk bersama ayahku dipelataran teras rumah. Malam itu terasa sangat berbeda dengan malam-malam sebelunya karena waktu itu ayahku tiba-tiba ngomong dan memulai menceritakan lika-liku kehidupan yang pernah dialaminya. Waktu itu aku masih duduk dibangku Sekolah Dasar. Dia bercerita bahwa dia adalah anak kedua dari enam bersaudara, empat diantaranya adalah perempuan dan yang  bungsu adalah laki-laki. Â
Masa-masa itu memang kehidupan orang dikampung rata-rata berada dalam garis kemiskinan. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan keseharian pun sangat sulit. Apalagi bagi anak prempuan, sebagus apapun alasan untuk meminta bersekolah pasti tidak akan dikasi oleh orang tuanya karena di pikiran orangtu sudah tertanam bahwa anak perempuan itu percuma sekolah tinggi ujung-ujungnya pasti kembali kedapur.
Nasib ayahku juga sama seperti yang dialami oleh saudara-saudaranya yang perempuan, ketika dia meminta izin untuk sekolah kakek-ku langsung bilang untuk apa kamu bersekolah toh juga kamu tidak akan bisa menjadi Datu (pegawai). Kamu bantu saja urusin pekerjaan sawah dan kamu urusin ternak-ternak itu maka lebih bermanfaat ketimbang kamu bersekolah. Walaupun keinginan ayahku untuk bersekolah begitu kuat akan tetapi dengan melihat kondisi yang begitu sulit dia tidak bisa untuk melawan keadaan selain tunduk dan patuh pada apa yang di bilang  kakek-ku. Dalam keluarga ayahku hanya yang bungsu saja yang diberikan izin sama kakekku Karena waktu itu memang teman-temanya rata-rata bersekolah dan pamanku ini mempunyai kepintaran yang lebih ketimbang yang lainnya.
Mebayangkan kekecewaanya yang dahulu, Sebagai anak laki satu-satunya dalam keluarga tentu saja kedua orantuaku menaruh harapan supaya aku bisa sekolah setingi-tingginya. Aku masih ingat ketika itu ayahku berujar “ dia  sanggup tidak membeli pakaian yang baru, sanggup makan dengan sayur singkong dan garam asalkan aku bisa sekolah. Dia juga bilang bahwa zaman yang kau hadapi tidak akan sama dengan zaman yang aku hadapi dahulu, maka agar kau bisa bertahan dalam menghadapi zamanmu maka kau harus menuntut ilmu (sekolah) setinggi-tingginya. Mendengan ungkapan ayah yang begitu dalam maknanya aku hanya bisa manggut-manggut dan berusaha untuk mendengarkan semua yang dikatakannya.
Walaupun sampai sekarang kondisi dikeluargaku masih tergolong miskin, namun keyakinan orangtuaku begitu kuat bahwa pendidikan sangat penting dalam merubah pola pikir dan meraih masa depan yang lebih baik, maka dari itu dia selalu mendorong saya untuk terus bersekolah setinggi-tingginya.
Nasihat-nasihat itulah yang membuat aku ingin tetap mengenyam pendidikan, walau selama ini terkadang aku harus siap-siap  Manahan rasa lapar untuk mengurangi bebab keluarga. Dan dorongan-dorongan orangtua dan beberapa teman organisasi ketika S1  akhirnya bisa sampai menmpuh  jenjang S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bogor 03 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H