Makanan adalah budaya, kebiasaan, keinginan, dan identitas_Jonathan Safran Foer
Beberapa saat yang lalu saya berkesempatan mampir di Ranu Klakah - sebuah danau yang diapit Semeru dan Argopuro di wilayah Lumajang, Jawa Timur. Suasana sejuk dan asri benar-benar membuat nyaman guna melepas Lelah setelah beberapa jam menelusuri jalanan dari Kabupaten Jember.
Saya seolah ketiban berkah (mendapatkan berkah) karena tanpa direncanakan untuk singgah di Ranu Klakah, saya dibekali istri dengan makanan tiwul yang sejak lama saya idam-idamkan sebab saat ini begitu sulit mencari makanan jenis ini, meski sebenarnya saat ini sudah ada tiwul instan yang dapat dibeli di pasar-pasar. Namun karena kurang penggemar, tak heran banyak tiwul instan bahkan hampir mencapai usia expirednya.
Merujuk beberapa ulasan yang tersebar di media sosial, tiwul merupakan makanan khas Jawa yang terbuat dari ketela pohon (singkong) yang menjadi makanan pokok ketika terjadi paceklik berkepanjangan, maka tak heran tiwul identik dengan makanan orang miskin dan rakyat jelata pada masa lalu.Â
Bahkan ketika penjajah jepang berkuasa, hampir seluruh masyarakat di Indonesia mengonsumsi tiwul sebagai makanan sehari-hari sebab sulit dan mahalnya beras ketika itu.
Tiwul yang berasal dari tanaman singkong mengandung kalori yang cukup rendah dan bahkan lebih rendah dari beras, sehingga makanan ini cukup menarik bagi orang-orang yang sedang melakukan diet karbo atau kalori.
Namun sayangnya sepertinya banyak yang belum berminat pada olahan makanan ini atau mungkin justru karena kurangnya sosialisasi terkait makanan ini bagi anak-anak muda kini.
Kebijakan Pangan
Tulisan ini hadir sebenarnya tidak hanya untuk membahas tiwul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.Â