Terkadang Hal Sepele dan Tak Terfikir, Benar-Benar Merubah Dunia - Cak Bash
Aku yang Belum Paham
Tomang. Begitulah orang Madura menyebutnya. Tungku kayu untuk memasak itu dulu selalu kutemui di setiap dapur tetanggaku, bahkan juga di dapur nenek dan ibuku sendiri.
Setiap hari setidaknya pagi dan sore dia hidup dan digunakan, bahkan bisa lebih jika si pemilik sedang punya hajatan. Ketika Tomang digunakan, tak hanya berfungsi memasak, dia seolah memiliki sihir pemikat karena kami selalu berkumpul dan bercengkrama di dapur sembari menemani ibu dan menunggu masakan matang dan siap kami santap.
Tomang seringkali membuat mata kami perih karena asap yang mengepul sebab api tak kunjung hidup atau kayunya masih belum terlalu kering, bahkan tak jarang muka ibuku tak karuan karena hitam pekat terkena sisa arang kemarin atau kemarin lusa. Tapi kami selalu tersenyum bahkan saling menertawai satu sama lain. Tak jarang pula keberadaannya memberi kami berkah kecil-kecilan sebab selalu ada cara untuk mencari tambahan uang jajan karena kegunaan tomang.Â
Aku dan teman-teman sebayaku sepulang sekolah sering mencari kayu ranting yang banyak berserakan di pekarangan selatan rumah kami.
Kayu yang kami kumpulkan dapat dijual pada tetanggaku, dengan harga yang lumayan untuk tambahan uang jajan atau untuk beli kelereng. Tak jarang perburuan kami atas kayu ranting, juga memperoleh jamur liar yang tumbuh begitu banyak sebab semalam hujan tak begitu lebat dan tentu mereka luput dari pandangan bulek yang memang sering mencari jamur di pagi hari.
Kami dulu begitu kreatif untuk mencari tambahan uang jajan. Tak perlu kami memelas apalagi sampai memaksa dengan tangisan untuk meminta tambahan uang jajan pada ibu, meski sebenarnya ibuku juga tak mungkin memberi lagi meski aku nangis sambil berguling-guling, sebab memang tak ada cerita dapat tambahan uang jajan. Terkadang kami mencari daun pisang untuk dijual, mengambil lidi kelapa dan dibuat menjadi sapu lidi, termasuk mencari kayu bakar di pekarangan-pekarangan yang memang oleh pemiliknya disuruh ambil.
Namun pada suatu siang sepulang sekolah ketika aku menjelang lulus sekolah dasar, ibuku bersama para ibu-ibu lain di kampungku berjalan mengular sembari membawa kardus diatas kepalanya. Senyum mereka melupakan peluh yang mengucur deras di dahi masing-masing.
Ketiak mereka basah karena panas yang memaksa peluh keluar dan dominan membasahi area ketiak saja, persis seperti rawa ditengah gurun. Aku dan teman-temanku lari berhamburan membantu ibu masing-masing untuk menggantikan bawaan mereka. Kami tak paham apa yang dibawa. Dengan hati saling penasaran, tak ada dari kami yang menanyakan apa bawaan itu, kami mengira itu jajan atau oleh-oleh makanan.Â
Setiba di rumah, ibuku bercerita bahwa mereka diundang Pak Tinggi (sebutan kades ditempat kami), katanya mulai nanti ibuku dan tetangga-tetanggaku tak perlu lagi menggunakan tungku tomang sebab kurang praktis, kotor, dan tentu merusak lingkungan karena penebangan kayu akan terus dilakukan jika menggunakan tungku.
Untuk menggantikannya, Pak Tinggi memberi kami kompor miyak tanah lengkap dengan sumbunya. Hanya minyaknya saja yang tidak ada dan kami disuruh membelinya sendiri.Â