Seorang pemimpin sejati bukanlah seorang pencari konsensus, tetapi seorang pembuat konsensus -- Martin Luther King Jr
Presidential Threshold sebagai syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden hampir dipastikan selalu menjadi isu yang keluar diawal gelaran pemilihan umum di Indonesia. Meski telah banyak gugatan yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja selalu muncul dari perseorangan atau kelompok masyarakat yang berusaha menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut karena dianggap menjadi alat justifikasi penghilangan hak konstitusional seseorang untuk berkontestasi dalam ajang pemilihan presiden dan wakil presiden di republik ini. Presidential Threshold merupakan mekanisme dimana seseorang dicalonkan sebagai presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sesuai ketentuan partai politik pengusung harus memiliki perolehan suara minimal 20 persen jumlah kursi di legislatif atau memperoleh perolehan suara sah nasional sebanyak 25 persen. Adanya mekanisme prosentase tersebut dipandang oleh banyak pihak sebagai kemunduran proses demokrasi yang mestinya harus dihapuskan.
Ketentuan Presidential Threshold dalam setiap ajang pemilu selalu mengalami perubahan-perubahan sesuai kepentingan politik yang berkembang. Dalam konteks aturan dan kebijakan, ketentuan presidential threshold sebenarnya dapat ditelusuri dari beberapa peraturan perundangan: Pertama, munculnya aturan presidential threshold bermula dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini diberlakukan seiring dengan pelaksanaan gelaran pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004 ini dimana Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasal 5 Ayat 4 menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan maju berkontestasi dalam pemilihan umum hanya dapat diusulkan melalui partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR sebanyak 15 persen dari total keseluruhan kursi, atau partai politik/gabungan partai politik yang memiliki perolehan suara nasional minimal 20 persen. Proses ini terjadi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004, yang akhirnya dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono -- Jusuf Kalla.
Kedua, ketentuan presidential threshold mengalami perubahan kembali seiring dengan berubahnya undang-undang pemilu. Menjelang pemilihan umum tahun 2009, pemerintah dan DPR RI menghapus Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan menggantinya dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 9 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan perolehan kursi suara di DPR minimal 20 persen dari keseluruhan kursi yang ada di DPR, atau memiliki 25 persen suara sah nasional dalam pemilihan DPR. Berlakunya peraturan perundangan tersebut menaikkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 5 point dari aturan sebelumnya. Pada pemilu tahun 2009 polemik terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden menguap namun tanpa ada gesekan berarti. Pada pemilu tersebut, dimenangkan kembali oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan wakil presidennya Boediono.
Ketiga, ketentuan presidential threshold tidak mengalami perubahan pada pemilu tahun 2014 dan masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan tetap dengan ketentuan perolehan kursi suara di DPR minimal 25 persen dari keseluruhan kursi yang ada di DPR, atau memiliki 20q persen suara sah nasional dalam pemilihan DPR. Pemilihan presiden dan wakil presiden diikuti oleh dua kontestan yaitu pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melawan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden ini, Joko Widodo dan Jusuf Kalla keluar sebagai pemenang.
Keempat, ketentuan presidential threshold pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019 mengalami perubahan seiring dengan berubahnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa peraturan tentang ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden berubah yakni pasangan presiden dan wakil presiden dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara 20 persen kursi DPR dan atau 25 persen peroleh suara sah nasional pada pemilihan DPR. Kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden ini dimenangkan kembali oleh Joko Widodo dengan wakil presiden Ma'ruf Amin.
Ketentuan presidential treshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden mengalami berbagai fenomena politik di tanah air. Setidaknya telah terjadi 13 kali gugatan terhadap pemberlakuan presidential threshold ke mahkamah konstitusi terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan seluruhnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi, yaitu gugatan atas Perkara Nomor 44/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 59/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 70/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 71/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017, Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 54/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 58/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 92/PUU-XVI/2018, dan Perkara Nomor 74/PUU-XVIII/2020.
Menjelang pemilihan umum tahun 2024, potensi gugatan terhadap mekanisme presidential threshold masih terbuka untuk dilakukan mengingat tak sedikit terdapat pihak-pihak yang merasa dirugikan atas adanya mekanisme tersebut. Hal tersebut mulai terlihat dari kembali mencuatnya isu presidential threshold. Hemat penulis, mekanisme penentuan ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden sejatinya merupakan sebuah mekanisme yang dirancang untuk mencari dan memperoleh pemimpin berkualitas dengan kekuatan politis yang diharap mampu menjalankan pemerintahannya dengan stabil, namun potensi untuk melanggengkan budaya dan praktik oligarki atas kekuasaan tetap berpeluang subur. Semua tergantung dari kehendak politik para elit, apakah kekuasaan hanya sebatas untuk mementingkan kelompok dan golongannya saja, atau memang benar-benar dalam rangka untuk menciptakan Indonesia sebagai negara yang besar, berdaulat dan maju dalam berbagai hal termasuk dalam politik. Kita hanya dapat berharap semoga mekanisme presidential threshold benar-benar berada pada visinya, bukan hanya sebagai alat manuver politik untuk merebut kekuasaan yang oligarkis. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H