Saat ini, uang memiliki fungsi sebagai alat tukar (medium of exchange), satuan hitung (unit of account), penimbun kekayaan (store of value), dan standar pencicilan hutang (standard of different payment). (Lihat Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2007, hlm 45).
Saya terinsiparasi memulai tulisan ini dengan mendefinisikan uang dari sebuah permainan game Rise of Empires atau sejenisnya, dimana mereka memulai peradaban dengan menguatkan ekonomi melalui tukar menukar dan kemudian muncul nilai tukar.
Dalam kehidupan nyata, sebagaimana kita ketahui dalam pelajaran ilmu ekonomi, manusia awal dan sederhana memenuhi kebutuhannya dengan kembali pada alam dan lingkungan, baik berburu, bercocok tanam dan sebagainya.
Seiring perkembangan dan dinamika kehidupan manusia dan masyarakat ketika itu, sehingga mereka saling bertukar produk kebutuhan yang kita kenal dengan zaman barter. Lalu berkembang menjadi uang dalam bentuk alat tukar (dimulai pada era Babylonia dan Sumeria), sampai pada jaman digital saat ini dengan tetap mengacu pada uang sebagai nilai tukarnya.
Semua itu kita telah mengetahuinya dengan baik kan?? Namun sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak untuk mengurai hal diatas. Semua informasi itu telah banyak tertulis dalam jurnal-jurnal ilmiah, dalam buku-buku, dan artikel-artikel yang bertebaran di media sosial dan sebagainya. Saya berefleksi tentang kenapa kita selalu butuh uang berdasar kejadian yang saya alamai hari ini.
Pagi hari ini saya merasakan sedih meski sebenarnya biasa dalam dunia perdagangan. Saya mendapat informasi dari tim lapangan saya bahwa ada retur kopi cukup banyak (maklum saya membantu memasarkan produk kopi para petani dengan cara mencari dan menciptakan pasar sendiri yang akan saya tulis pada edisi berikutnya).
Dengan berat hati, saya menemui para sales yang menjadi ujung tombak usaha penjualan kami secara konvensional dan ternyata memang cukup banyak barang yang ditolak pasar. Ketika kami sedang berkumpul di depan rumah dan menghitung kopi yang dikembalikan, lewatlah beberapa ibu-ibu yang baru pulang dari sebuah acara -- mungkin acara pengajian atau sejenisnya sebab pakaian mereka cukup rapi dan necis untuk dandanan ibu-ibu di desa.
Mungkin karena penasaran, mereka mendatangi kami dan melihat yang kami kerubungi. Tentu saya harus menjelaskan sedetail mungkin apa dan bagaimana produk kopi itu ada dan dijual. Saya terkejut dengan satu komentar ibu yang berpakaian merah "mas, aslinya saya butuh kopi untuk dirumah, juga untuk menyuguhi bapak-bapak yang mau pengajian dirumah besok malam.
Tapi saya tidak ada uang dan saya tidak ingin hutang". Ditengah saya heran melihat ibu tersebut, ibu yang lain menyela "kalo ditukar beras mau tidak mas?? Nanti sesuaikan aja harga beras dengan harga kopinya"
Sontak saya kaget dan merespon mereka dengan "boleh bu, tidak apa-apa". Obrolan berlanjut dan tanpa disadari kopi kami ludes dan kami mendapatkan beras yang cukup banyak dan kebetulan kami memang sedang membutuhkan beras.