JIKA SAJA SAINS TIDAK PERNAH KECEWA DENGAN AGAMA
Sangat dapat dipahamai bahwa saat ini menjadi era eranya sains. Bagaimana tidak, karena semua ukuran kemajuan zaman di lihat dari kemajuan sains. Hasilnya banyak Negara-negara maju berlomba-lomba untuk mengembangkan sains dari berbagai aspek. Hal ini sangat bisa diterima dengan akal, karena super power seperti Amerika menjadikan kemajuan ilmu pengetahuan dan juga tekhnologi sebagai acuan kemajuan suatu Negara. Jika ilmu pengetahuan dan juga tekhnologi menjadi acuannya, maka kemajuan zaman sangat ditentukan oleh kemajuan sains dan juga tekhnologi yang dimiliki oleh setiap Negara.
Sebagai seorang yang beragama, sudah seharusnya kita semua juga mengakui adanya kemajuan sains. Tidak terelakkan bahwa sains mampu membawa kemajuan dalam semua aspek kehidupan, termasuk juga kemajuan perkembangan agama. Oleh sebab itu, sain dan tekhnologi merupakan media yang sangat tepat saat ini untuk memberikan kontribusi besar dalam penyebaran dakwah agama. Sehingga agama dapat sangat mudah dimengerti dalam rentang waktu yang sangat singkat.
Untuk mengetahui sain secara mendalam, seharusnya kita harus mengenali lebih jauh dari sain itu sendiri. Banyak ilmuan yang mengklaim bahwa sains yang ada saat ini adalah hasil dari pemikiran barat. Bukan untuk tidak mengakui bahwa ilmuan barat mampu berkontribusi besar dalam perkembangan sains modern. Nyatanya banyak ilmuan-ilmuan muslim juga menjadikan pemikiran-pemikiran barat sebagai referensi terhadap karya-karyanya. Namun yang menjadi persoalan saat ini adalah keberadaan sains itu sendiri. Bagaimana sains dan tekhnologi mampu berperan dalam kajian keagamaan yang supranatural. Apakah sain mampu menerima semua itu? Atau bahkan sain meniadakan agama dalam kajian keilmuan saat ini?
Permasalahan kemajuan sain sebenarnya adalah mengenai eksistensi agama terhadap pengakuan sain. Jika kita telisik secara mendalam akan sangat tampak bahwa seakan-akan sains memang sangat membenci korelasi agama didalam pandangan sains. Hal yang sangat menarik jika kita katakan bahwa ilmiah identik dengan sain, dan yangtidak ilmiah bukan sain. Namun dalam kenyataannya banyak kejadian-kejaian yang transendeltal dimana manusia tidak dapat memahaminya secara rasional dan empiris akan tetapi hal itu fakta adanya. Hal kecil saja mengenai peristiwa mimpi dalam tidur manusia. Kita akan sangat merasakan semua peristiwa yang ada di alam mimpi, namun secara ilmiah kita tidak dapat membuktikan secara empiris. Dari hal ini sebenarnya sudah dapat menjawab bahwa pengetahuan tidak selalu dapat dibuktikan secara ilmiah. Kalaupun para ilmuan barat masih tetap dengan komitmennya bahwa sains itu harus ilmiah, kita perlu cermati lebih jauh apakah ada hubungan kekecewaan sains terhadap agama beberapa abat silam dimana sains merasa dibohongi oleh eksistensi gereja. Sehingga dalam perkembangannya, keberadaan kebenaran sains sangat-sangat meniadakan agama sebagai bagian tolak ukur kebenaran sains hingga saat ini.
Dari indikasi tersebut, tampak jelas bahwa ketraumaan sain melekat dalam dilema para ilmuan barat. Sehingga sains yang ilmiah hanya berdasarkan oleh rasio dan empiris. Sehingga kejadian yang supranatural atau transendental tidak mampu di jawab oleh sains, karena dengan pertimbangan bahwa kejadian-kejadian transendental tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Ketraumaan sains terus berlanjut hingga batas-batas yang nyata adanya juga ditiadakan yaitu Tuhan. Permasalahan ini sangat-sangat jelas bahwa sains sebenarnya menerima keberadaan sesuatu yang transendental, namun kepiawaian ilmuan-ilmuan barat yang terlanjur mengklaim bahwa sains haruslah ilmiah menjadi bumerang bagi para saintifik-saintifik barat. Oleh karena itu, mereka tetap pada pendiriannya tentang keberadaan sains yang ilmiah dan harus dapat dibuktikan.
Indikasi korelasi kekecewaan terhadap gereja pada masa lalu sudah sangat mengakar dalam pemikiran barat. Bukan saja tidak mau mengakui keberadaan agama sebagai pengetahuan yang ada, namun sudah menyingkirkan agama dari pemikiran sains sehingga keberadaan tuhan juga tersingkirkan. Sehingga realita yang ada saat ini sains tidak membahas mengenai tujuan penciptaan alam dan siapa yang menciptakan, karena hal tersebut berlaku dalam pemahaman agama. Pengaruh dari kekecewaan agama dalam ruang lingkup sains sebenarnya hanya ada dalam perorangan. Ini dapat dibuktikan dalam pemahaman agama, wahyu, dan kitab suci telah tercantum mengenai ilmu pengetahuan yang sangat modern. Sekenario peniadaan agama didalam sains karena dalam perkembangannya ilmuan-ilmuan barat merasa terbohongi oleh kebenaran yang diberikan oleh gereja pada masa lalu. Sehingga semua doktrin dari agama mengenai kebenaran sudah barang tentu tertolak begitu saja.
Sebagai tolak ukur kemajuan, sains dan tekhnologi memiliki andil besar dalam perkembangan saat ini. Namun sangat di sayangkan sains modern meniadakan keberadaan sang pencipta sains itu sendiri. Ini artinya bahwa sains modern tidak mengakui eksistensi pencipta alam, ilmu, dan tekhnologi. Sehingga agama yang menjadi jalan satu-satunya memahami eksistensi tuhan juga ikut ditiadakan dalam pemahaman sains. Secara mendasar dapat saya berikan gambaran sederhana bahwa bagaimana mungkin alat tekhnologi seperti satelit yang begitu canggih ada tanpa ada yang menciptakan. Atau satelit muncul begitu saja tanpa ada yang merancang dan membuatnya. Saya kira analogi sederhana tersebut sudah cukup menjadi jawaban bahwa eksistensi alam juga memiliki pencipta yang hakiki. Tetapi persoalannya kenapa sains modern tidak mau mengakui keberadaan sang pencipta alam ini. Menjadi sangat menyedihkan jika pencipta yang hakiki terabaikan oleh sains yang merupakan sebagian kecil dari kekuasaan tuhan yang diberikan oleh manusia.
Jawaban hal tersebut menjadi sangat sederhana karena sebenarnya sains merasa tidak mampunyai tempat jika mengakui keberadaan agama bagian dari sains itu sendiri. Karena sejak awal, untuk membentuk harga diri dan martabat sains tetap berdiri adalah meniadakan agama didalam mencari kebenaran. Namun menjadi sangat salah jika sampai saat ini sains hanya dipahami secara ilmiah semata. Karena pada dasarnya banyak hal-hal yang transendental yang bukan ilmiah dalam kehidupan sehari-hari kita juga terjadi. Dapat dipahamai bahwa peniadaan sains terhadap agama merupakan bagian dari kekecewaan masa lalu yang masih melekat. Hal ini disetarakan dengan semua agama, sehingga eksistensi tuhan tidak tampak dihadapan sains modern.
Dapat diimplikasikan bahwa seandainya ketiadaan kekecewaan sains masa lalu terhadap gereja, bisa sangat memungkinkan sains mengakui adanya hal-hal transendental seperti eksistensi tuhan dengan alam ciptaannya, tujuan dari penciptaan dan tidak sebatas pengakuan ilmiah yang didasarkan pada rasionalitas dan empiris semata. Sebagai kaum akademis kita hendaknya memahami sains modern dari sudut pandang yang bijak bukan dari sudut pandang kekecewaan masa lalu. Hasil ini akan memungkinkan memperoleh kajian-kajian sains modern yang akan tetap mengakui adanya sang pencipta alam semesta ini, dan juga menemukan eksistensi tuhan itu sendiri melalui ciptaan-ciptaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H