Mohon tunggu...
basari budhi pardiyanto
basari budhi pardiyanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNS

salah satu hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peninjauan Kembali (PK): Upaya Bebas Para Terpidana Kasus Vina Cirebon

22 Juli 2024   12:28 Diperbarui: 22 Juli 2024   12:34 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca dirilisnya film "Vina : Sebelum 7 Hari" berdampak sangat luas dalam masyarakat. Kasus meninggalnya sepasang kekasih Vina dan Eky pada tahun 2016 yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Cirebon kembali diungkap. Dalam putusan tersebut 8 (delapan) orang dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana penjara serta 3 (tiga) orang dinyatakan DPO. Pro dan kontra terhadap film tersebut tidak terelakkan bahkan kemudian produser film tersebut sempat dilaporkan ke pihak berwajib Bareskrim Polri dengan alasan film tersebut menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.

Timbul polemik yang terus berkembang hingga saat ini pertanda masyarakat sangat peduli dengan kasus tersebut. Apakah mereka berdua korban pembunuhan ataukah korban kecelakaan lalu-lintas sebagaimana pihak kepolisian sempat merilis pertama kali. Andaikan mereka berdua adalah korban pembunuhan siapakah pelakunya. 

Apakah para terpidana baik yang sudah keluar (Saka Tatal) maupun 7 (tujuh) orang terpidana lainnya yang sampai saat ini masih mendekam dalam penjara dan 3 (tiga) orang DPO adalah pelaku sebenarnya ataukah ada pihak-pihak lain. Akankah kemudian mereka dapat melepaskan diri dari jerat hukum yang telah melilitnya sebagaimana putusan pengadilan atas diri mereka. Di sisi lain penyidik Poda Jawa Barat telah dengan mudahnya "menghapus" status DPO atas 2 (dua) orang diantaranya.

Kasus Vina Cirebon ini telah menjadi "topic trending"  baik dalam masyarakat maupun dalam jagat maya (media sosial). Semua stasiun televisi seperti berlomba-lomba sebagai yang pertama memberitakan dalam mengupas tuntas kasus tersebut. Banyak kalangan terutamanya para (mantan) aparat penegak hukum, mantan penyidik bahkan mantan Kabareskrim sampai mantan Wakapolri sampai dengan Ahli Kapolri, akademisi sampai ahli forensik dijadikan narasumber untuk menyoroti penyelesaian kasus yang terjadi pada tahun 2016 tersebut.

Berbagai pendapat bermunculan atas kasus yang terjadi 8 (delapan) tahun silam, diantaranya dugaan kecurigaan dalam penyelesaian kasus dimaksud utamanya pada saat proses penyidikan hingga penjatuhan pidana terhadap para terduga pelaku (baik yang sudah selesai menjalani pidana maupun masih menjalani pidana seumur hidup). Muncul keraguan atas objektivitas pengungkapan kasus tersebut mengingat adanya peran dari orang tua salah satu korban yang kebetulan adalah seorang anggota kepolisian dalam pengungkapan kasus dimaksud dimulai dari proses pelaporan maupun penangkapan terhadap para tersangka (yang sekarang telah menjadi terpidana).

Begitu pula muncul dugaan penyidikan oleh pihak kepolisian tidak dilakukan dengan menggunakan metode Scientific Crime Investigation yaitu suatu metode penyelidikan atau penyidikan kejahatan yang dilakukan secara ilmiah dengan dukungan berbagai disiplin ilmu baik berupa ilmu murni maupun ilmu terapan. 

Pada hal selama ini pihak penyidik dalam hal ini Polri telah selalu berupaya agar dalam setiap penyelidikan ataupun penyidikan terkait penegakan hukum  suatu perkara pidana tidak hanya berdasarkan upaya pembuktian yang bersifat konvensional semata-mata namun juga  berdasarkan nilai-nilai keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sampai akhirnya muncul "keberanian" dari para terpidana untuk buka suara bahwa mereka bukanlah pelaku yang sebenarnya, mereka dipaksa mengaku sebagai pelaku dengan alasan pada saat mereka diperiksa dilakukan dengan tekanan, paksaan, ancaman dan terpaksa mengikuti "skenario" penyidik. Terhadap mereka juga dilakukan penangkapan oleh anggota kepolisian yang secara kebetulan adalah orang tua salah seorang korban.

Demikian pula muncul kesaksian yang cukup "kontoversial" dari seseorang yang dianggap sebagai saksi kunci bernama Aep dengan pengakuan sebagian terpidana adalah pelakunya sehingga berujung pada penangkapan terhadap para terpidana. Bahkan tidak tanggung-tanggung yang bersangkutan juga memberikan kesaksian melihat keberadaan Pegi Setiawan bersama-sama dengan para terpidana. Keterangan inilah yang kemudian memunculkan masalah baru 'kasus salah tangkap" terhadap Pegi Setiawan oleh penyidik Kepolisian Polda Jawa Barat, meskipun kemudian penetapan tersangka dan penahanan ini dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Bandung (08/07/2024) sehingga yang bersangkutan dibebaskan kembali.

Publik dibuat ragu atas keterangan saksi Aep ini bahkan menimbulkan dugaan keterangannya adalah palsu. Patut dipertanyakan motif sebenarnya Aep memberikan kesaksian yang telah memberatkan para terpidana mengingat antara saksi dengan sebagian terpidana telah ada permasalahan sebelumnya.

Secara judris formal (terhadap para terpidana) kasus Vina Cirebon telah selesai dengan adanya putusan pengadilan baik dari pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri Cirebon) sampai dengan putusan kasasi (Mahkamah Agung) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)  dan telah pula dilakukan eksekusi kepada para terpidana. Bahkan salah seorang terpidana (Saka Tatal) telah selesai menjalani pidana dan saat ini telah bebas dan keluar dari penjara. Dalam arti bahwa terhadap para terpidana tersebut sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat dilakukan untuk melawan putusan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun