Sebagian besar masyarakat (awam) menganggap yang termasuk dalam perbuatan korupsi hanya perbuatan yang terkait dengan kerugian (keuangan) negara. Pada hal tidak semua tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang terkait dengan adanya kerugian (keuangan) negara.
Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001) telah mengatur serta mengelompokan perbuatan korupsi dalam beberapa kategori perbuatan korupsi. Secara garis besar undang-undang tersebut mengelompokan tindak pidana korupsi dalam 7 (tujuh) kelompok yang meliputi kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi.
Dari seluruh pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut hanya terdapat 2 (dua) pasal yang terkait langsung dengan kerugian keuangan  negara yaitu pasal 2 dan pasal 3, sedangkan selebihnya tidak berkaitan langsung dengan keugian (keuangan) negara.
Dalam masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya ketimuran telah menjadi hal yang biasa untuk saling memberi dan menerima. Ungkapan 'terima kasih' dan apresiasi atas layanan atau bantuan dalam suatu perbuatan merupakan hal yang biasa dan wajar, demikian pula pemberian hadiah kepada seseorang adalah hal yang biasa pula. Bahkan dalam acara-acara tertentu seseorang saling memberi dan menerima sesuatu dengan orang lain misal dengan saling memberi atau menerima parcel pada saat perayaan keagamaan ataupun dalam suatu kondangan (hajatan). Hal yang demikian ini secara positif menunjukkan adanya nilai-nilai solidaritas (rasa sosial) yang tinggi dalam kehidupan bersosial di masyarakat.
Namun tidak demikian halnya dapat diberlakukan kepada seseorang yang memegang jabatan(kedudukan) sebagai pegawai negeri ataupun penyelenggara negara, terutama pemberian/penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatan yang bersangkutan. Pemberian kepada seseorang (pejabat) yang demikian ini cenderung memiliki pamrih maupun tujuan tertentu yang dikhawatirkan dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan perbuatan korupsi.
Beberapa waktu belakangan mencuat pemberitaan tentang suap, pemerasan maupun gratifikasi sebagai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang (pejabat). Sangat ironis ketika Ketua KPK (non aktif) Firli Bahuri yang notabene merupakan aparatur penegak hukum  dalam upaya pemberantasan korupsi justru diduga terlibat dalam kasus korupsi pula. Yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap (mantan) Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Demikian pula halnya seorang hakim agung (non aktif) Gazalba Saleh, sekretaris Mahkamah Agung (non aktif) Hasbi Hasan serta wakil menteri hukum dan HAM Eddy Hiariej yang diduga pula terlibat dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi. Mereka semua adalah orang-orang yang mempunyai jabatan dan kedudukan, bukan semata-mata sebagai masyarakat biasa.
Dengan kedudukan dan jabatan tersebut mereka telah memainkan peran dalam terciptanya suatu perbuatan korupsi. Selaku seorang yang mempunyai jabatan (kedudukan) mereka diduga telah 'menerima' sesuatu apakah dalam bentuk perbuatan suap, pemerasan ataukah gratifikasi. Persamaan ketiga perbuatan tersebut adalah sama-sama 'menerima' sesuatu.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh.
Sementara itu dalam penjelasan Pasal 12 B Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pengertian gratifikasi adalah pemberian berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, akomodasi penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dalam ketentuan Undang Undang tersebut juga telah ditentukan setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun demikian apabila penerima gratifikasi tersebut dalam waktu sebagaimana ditentukan oleh undang-undang telah melaporkan penerimaan gratifikasi yang diterimanya tersebut kepada KPK maka terhadap yang bersangkutan tidak dapat dikatakan telah menerima gratifikasi. Atas laporan tersebut kemudian KPK akan menentukan status gratifikasi yang telah diterima menjadi milik yang bersangkutan ataukah menjadi milik negara.
Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan (pejabat) secara langsung tetapi cenderung sebagai bentuk 'ucapan terima kasih' sehingga pada awalnya gratifikasi tidak terlihat sebagai suatu perbuatan pidana. Terjadinya gratifikasi pada awalnya tanpa disadari oleh penerima karena sangat halus, hal ini berbeda dengan penerimaan pada suap maupun pemerasan.