Sistem PPDB dengan zonasi membuat gusar banyak emak-emak. Ada yang mengaku nilai anaknya tinggi tapi justru tidak kebagian kursi sekolah lanjutan. Malah kalah dari kawannya yang nilainya lebih rendah tapi jarak rumah dari sekolah lebih dekat.
Fenomena lainnya juga terjadi perpindahan penduduk. Anak-anak usia sekolah itu pindah ke rumah kolega mereka yang letaknya dekat dari sekolah kaporit. Eh, sekolah favorit maksudnya.
Kementerian Pendidikan dalam hal ini berdalih bahwa aturan sistem zonasi ini bertujuan mulia. Yakni pemerataan pendidikan. Yang selama ini dirasakan masih senjang.
Data BPS pun berkata demikian. Kesenjangan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Lihat saja indeks pendidikan yang merupakan salah satu komponen penyusun IPM. Indeks Pembangunan Manusia. Boleh diunduh gratis di web BPS. Yang ini kawan : www.bps.go.id
Tentunya para orangtua punya niat baik. Tidak ingin memasukkan anaknya ke sekolah yang dicap bukan unggulan. Guru-gurunya bukan unggulan. Dan sarananya masih terbelakang.
Image sekolah unggulan atau favorit telah tercipta dengan sempurna. Para orangtua berlomba mendaftarkan anaknya di sana. Tentu saja demi masa depan mereka yang lebih cerah.
Dari sini dapat dilihat satu hal. Yakni masalah pendidikan yang belum merata. Sarana dan prasarana sekolah termasuk tenaga pengajar masih mengalami ketimpangan.
Padahal tujuan zonasi itu adalah untuk melakukan pemerataan pendidikan. Tapi para orangtua juga gelisah, memilih sekolah unggulan meski jaraknya terbilang jauh. Dan tidak berada dalam zonasi.
Jadi yang mana dahulu nih, Gaes?
Pemerintah melakukan pemerataan sarana dan prasarana serta tenaga pengajar terlebih dahulu, atau tetap memberlakukan aturan ini untuk mencapai pemerataan pendidikan itu?