Peci berwarna hitam pekat terpasang rapi di kepalanya. Kedua tangannya berayun, menari bersama spatula. Badannya masih dibalut baju koko, warnanya putih. Celananya hitam dengan potongan khas di atas mata kaki. Lelaki ini tersenyum di depan sebuah wajan berukuran cukup besar. Sepotong roti bergoyang di atasnya.Â
Ayunan spatula menggiring roti, memutar, dan memastikan roti matang secara merata. Keahlian jemarinya menegaskan jika dia sudah lama bergelut dengan usaha itu. Dia adalah seorang penjual roti bakar dengan gerobak berwarna-warni, seperti pelangi. Di gerobaknya tertulis Roti bakar, terdapat banyak macam pilihan rasa. Anda bebas memilih sesuai selera.Â
Gerobaknya terparkir rapi di sisi jalan raya, tepat di depan sebuah masjid. Di belakangnya berdiri kokoh pohon besar, tinggi menjulang. Mungkin usia pohon itu sudah puluhan tahun. Daunnya yang rimbun cukup melindungi dari sengatan panasnya matahari. Jika saya tidak salah, lelaki penjual roti bakar ini adalah lelaki yang sama yang saya temui di masjid. Dia berdiri paling depan. Iya, dia imam shalat. Dari perawakannya, usianya masih sangat muda. Semangatnya masih membara.Â
Tidak ada wajah gengsi harus berjualan di pinggir jalan. Yang penting halal, mungkin pikirnya. Sebenarnya saya ingin memesan roti bakar, namun perut saya sudah tidak mengizinkan. Saya baru saja mengisi lambung, tentunya tanpa menu nasi putih di sore hari menjelang malam. Petang, tepatnya. Karena adzan maghrib bergema tak lama setelah saya berdiri dari meja makan. Â Lagi-lagi, sebuah pelajaran berharga dapat dipetik.Â
Uang halal memang menjadi keutamaan. Karena dunia bersama hiasannya hanya sebuah persinggahan. Benar kata Pak Sopir truk yang menuliskan sebuah kalimat di belakang mobilnya. Dunia sementara, akhirat selamanya, tulisnya. (*) .Â
Makassar, 20.02.2018
#basareng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H