Pemerintah memutuskan untuk mengimpor garam dari Australia sebanyak 75 ribu ton tahun ini. Kebijakan ini diambil untuk menutupi defisit produksi garam dalam negeri yang tidak mencukupi kebutuhan nasional.
Pro dan kontra impor garam mewarnai media nasional, baik media televisi, cetak, dan media sosial. Para ahli dan "mendadak" ahli pergaraman pun muncul ke permukaan untuk memberikan pernyataan dan analisa tentang butuh tidaknya impor garam. Kenyataannya, kebutuhan garam dalam negeri tidak sebanding dengan hasil produksi. Kebijakan impor garam bukan hanya tahun ini, tapi telah dilakukan dari beberapa tahun lalu untuk mencukupi kebutuhan industri. Dari dulu impor garam industri biasanya  berkisar 2 (dua) juta ton per tahun.
Banyak pihak menyayangkan keputusan pemerintah. Ada yang berpendapat bahwa impor garam ini cukup ironi, pasalnya Indonesia merupakan negara yang memiliki garis  pantai terpanjang kedua di dunia. Produksi garam di dalam negeri kalah telak dari negara seperti Australia. Semestinya negara hadir dan berpihak kepada para petambak garam agar produksi bisa meningkat dan mencukupi kebutuhan nasional, baik untuk konsumsi maupun bahan baku  industri.
Belakangan, muncul penjelasan yang mematahkan asumsi bahwa negara maritim dan memiliki garis pantai yang panjang tidak serta merta menjadi negara swasembada garam. Garis pantai Indonesia yang panjangnya sekitar 54 ribu kilometer tidak cukup menjamin. Nyatanya, tidak semua pantai bisa dijadikan lahan tambak garam. Terdapat banyak persyaratan untuk bisa menjadi lahan tambak, seperti tanah harus landai dan padat. Selain itu, gelombang dan kadar lumpur tidak terlalu tinggi.
Faktor lain, pantai lebih menguntungkan jika dijadikan kawasan pariwisata. Kontribusi pariwisata pantai lebih menjanjikan. Apalagi jika menjadi destinasi wisata internasional. Perputaran uang lebih banyak dan menggairahkan dibanding jika pantai tersebut dijadikan tambak garam.
Anomali cuaca juga disebut menjadi salah satu faktor menurunnya hasil produksi garam dalam negeri. Dulu, musim kemarau lebih panjang. Tapi sekarang musim hujan lebih mendominasi. Dengan curah hujan yang relatif tinggi, penguapan air laut menjadi garam kurang sempurna. Bahkan di beberapa daerah berhenti berproduksi untuk sementara waktu.
Selain itu, kualitas garam dalam negeri kurang bagus. Kadar Nacl kurang dari 96 persen. Bahkan hanya antara 88 hingga 92,5 persen. Sangat jauh jika dibandingkan dengan garam impor yang memiliki kandungan Nacl lebih besar dari 96 persen. Hal ini disebabkan oleh cara pengolahan dan peralatan yang digunakan. Petambak garam dalam negeri masih mengolah dengan cara tradisional. Sedangkan garam impor itu diproduksi menggunakan teknologi canggih yang menerapkan inovasi teknologi (isolator). Kelembaban udara juga turut memengaruhi hasil produksi. Indonesia memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi di kisaran 60-70 persen sehingga produksi belum maksimal.
Beberapa faktor tersebut di atas mendorong pemerintah untuk kembali mengambil kebijakan mengimpor garam. Hal ini bertujuan untuk melindungi industri yang menggunakan garam sebagai bahan bakunya. Jangan sampai terjadi pengurangan pekerja hanya karena kekurangan pasokan bahan baku. Keputusan pemerintah dinilai sudah tepat untuk menambal kekurangan produksi garam yang bisa memengaruhi sektor lain. Dimana kisaran produksi garam dalam negeri hanya sebesar 2,2 juta ton dari kebutuhan sebesar 3,9 juta ton.
Bagaimana dengan daerah penghasil garam di Sulawesi Selatan? Ada empat wilayah penghasil garam di Sulawesi Selatan, yakni Takalar, Jeneponto, Kepulauan Selayar, dan Pangkep. Akibat anomali cuaca, produksi garam sulsel menurun. Tercatat, produksi pada tahun 2016 hanya sebesar 13 ribu ton, turun drastis dibanding hasil produksi tahun 2015 sebesar 115 ribu ton. Sedangkan konsumsi garam di SulSel mencapai 25 -- 30 ribu ton per tahun.
 Pilihan ada di tangan pemerintah. Apakah akan melakukan impor secara terus menerus untuk menstabilkan harga garam dan menutupi kekurangan konsumsi? atau melakukan inovasi teknologi secara berkala untuk bisa swasembada dan mencapai kedaulatan pangan. Sebuah pilihan yang memiliki konsekuensi jangka panjang. Memilih jalan pintas impor, berarti perlu pengawasan agar tidak terjadi kebocoran impor, dimana importir menjadi trader. Dan jika ingin swasembada nantinya, maka pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan petambak garam dengan memberikan bantuan dan pendampingan secara rutin. Semoga kita bisa berdaulat di atas tanah sendiri dan tidak melulu hanya menjadi pasar yang strategis bagi negara lain untuk memasarkan hasil produksinya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H