Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Alumni Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Subuh Kumulai Berlari

9 Februari 2017   09:14 Diperbarui: 12 Februari 2017   06:13 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah keputusan telah dia ambil,  lanjut di salah satu sekolah favorit di Ibukota Propinsi. sebenarnya  dia punya pilihan lain,  sebuah sekolah yg cukup ternama di Kota Kabupaten yg jaraknya pun dekat dr rumahnya. Namun dia telah memilih walaupun hrs berangkat sangat pagi. Seperti biasa, Adzan Subuh berkumandang,  bunyi air pun terdengar dr kamar mandi tanda dia telah mulai bersiap ke sekolah. Setelah shalat,  tiba-tiba raut wajahnya menjadi tegang mendengar suara mobil di sebuah pabrik dekat rumahnya. Tak pikir panjang dia pun berlari menuju jalan raya,  tak lama sebuah mobil berhenti,  hampir saja dia ketinggalan Tumpangan GRATIS pagi itu. Numpang berarti hemat 2 kali tak bayar ongkos pete-pete (angkot).

Turun di ujung lampu merah,  lanjut Japrut (jalan kaki).  Sesekali diantar langsung di depan lorong sekolah,  melangkah seperti anak gedongan padahal hanya numpang, lumayan dapat gratisan. Numpang berarti bisa beli sebungkus nasi kuning Nebro atau semangkok bakso Amir. Maklum Uang jajan habis buat ongkos pete-pete.  Jalanan padat mobil pengantar teman-teman sekolahnya,  ada anak Bupati/Walikota,  anak anggota Dewan,  anak pengusaha,  pokoknya sebagian besar anak orang kaya. Gaya hidup dan isi dompet jelas beda,  namun tetap harus semangat kejar ilmunya seperti dia kejar mobil tumpangan gratis tiap paginya. Satu alasan kuat dia punya MIMPI besar untuk masa depannya.

Saat bel tanda pulang berbunyi,  dia pun melangkahkan kakinya jauh lebih cepat dari yang lain.  Siang ini matahari lebih terik, tapi langkah kaki bersama 4 orang temannya tak surut menyusuri lorong-lorong menuju halte pete-pete.  Jalan kaki sekilo tiap pulang sekolah dengan kepala agak plontos (aturan sekolah) tetap ditempuh.Tubuh cungkring menerobos panas terik matahari demi mimpi-mimpinya.

Tak ada kata gengsi,  malu,  selama itu positif dia kerjakan. Menuntut ilmu memang sulit kawan,  butuh pengorbanan dan sabar menjalaninya. Biaya sekolah cukup terbantu dari Beasiswa yang cair tiap 3 bulan.  Dia punya keyakinan kuat bagi masa depannya. Terlahir dari orang tua kurang mampu atau kaya tidak cukup menjamin masa depan,  proses perjuangan yang menentukannya. Selamat berjuang...

Hasil takkan menghianati proses...(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun