Ketika Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat untuk periode di tahun 2008, tim suksesnya menggunakan metode kampanye yang menjadi sorotan banyak pihak. Mereka tanggap memanfaatkan media yang saat itu sudah digunakan secara aktif oleh 74%Â total penduduk dewasa di AS untuk memopulerkan Obama: internet. Keberhasilan Obama dalam pemilihan presiden saat itu dipandang sebagai sebuah revolusi dalam pelaksanaan kampanye politik.
Internet memang tidak dapat dikesampingkan lagi perannya dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan. Menurut GlobalWebIndex, pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata 5,5 jam mengakses internet dari laptop atau komputer setiap harinya, dan rata-rata 2,5 jam via telepon genggam. Hampir sepertiga dari hari kita, kita habiskan di dunia maya!
Selain itu, GlobalWebIndex juga menunjukkan 79% pengguna internet di Indonesia secara aktif menggunakan media sosial saat mengakses internet. Angka-angka tersebut, diiringi pembelajaran akan kesuksesan kampanye Barack Obama, tentu menjadikan internet dan media sosial saluran yang menarik bagi para tokoh politik dan pemerintahan untuk mendekatkan diri dengan rakyat.
Di Indonesia sendiri, tokoh yang menarik perhatian karena pemanfaatan internet dan media sosial saat kampanye, hingga saat menjabat adalah pasangan Jokowi-Ahok. Dengan bantuan relawan sosial media, mereka menjangkau pengguna Twitter dan Facebook, khususnya untuk meluruskan isu-isu negatif yang kerap muncul di periode kampanye. Setelah menjabat sebagai pemimpin DKI Jakarta, mereka tetap memanfaatkan internet untuk mewujudkan transparansi dalam pelaksanaan pemerintahan propinsi DKI Jakarta.
Tokoh-tokoh lainnya yang dikenal secara pribadi aktif mengomunikasikan kegiatan kerjanya sembari menanggapi komentar pengguna sosial media misalnya, Menteri BUMN Dahkan Iskan, Walikota Bandung Ridwan Kamil, hingga Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Meski tujuan penggunaan media sosial di ranah politik dan pemerintahan pada dasarnya positif, tak jarang media sosial dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab. Untuk pencitraan, beberapa tokoh politik membeli akun yang telah banyak pengikutnya, atau membentuk akun-akun palsu untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.
Baru-baru ini, ribuan akun Twitter dibajak sehingga secara otomatis melakukan twit yang memuji salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2014. Begitu banyak akun yang dibajak, hingga nama tokoh tersebut sempat muncul sebagai Trending Topic.
Kaum muda yang aktif menggunakan Twitter mungkin tidak asing dengan kontroversi yang terjadi beberapa waktu silam terkait akun anonim yang menggunakan nama salah satu grup dangdut. Akun yang awalnya banyak diikuti karena komentar-komentar kritisnya akan kondisi politik dan pemerintahan, sekejap mengundang curiga para pengikutnya karena sering melemparkan isu-isu miring dan terkesan mendukung partai tertentu.
Jelang pemilihan umum 2014, muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan media sosial di masa kampanye. Siapa saja dapat dengan bebas menyebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan politik, tanpa ancaman hukuman yang jelas jika tertangkap. Menanggapi kemungkinan ini, pengamat politik Charta Politika mengungkapkan perlunya aturan yang menerangkan batas-batas penggunaan media sosial yang sehat di masa kampanye.
Ada atau tidaknya regulasi tentang penggunaan media sosial dalam arena politik, kita sebagai bagian dari masyarakat yang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi tetap mempunyai kendali penuh atas bagaimana media sosial membentuk opini kita.
Hal penting yang perlu kita ingat adalah bahwa siapa saja dapat mengklaim dirinya sebagai orang lain di internet. Tak jarang orang mengklaim seorang tokoh mengeluarkan pernyataan tertentu atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, sebelum memercayai dan menyebarluaskan isu tertentu, kita bertanggung jawab mengecek kembali validitas sumber berita kita. Siapa sebenarnya penulis atau pemilik akun yang kita baca tersebut? Apakah ada media lain yang juga menyatakan hal yang sama?