Mohon tunggu...
Frans Abednego Barus
Frans Abednego Barus Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Paru

seorang insan medis biasa yang ingin membagi wawasan dan share ilmu pengetahuan. Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sejak 2004

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Revolusi Mental Menjalankan JKN BPJS

23 September 2015   11:06 Diperbarui: 23 September 2015   11:23 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Menjalankan praktek sehari hari melayani pasien dengan Jaminan Kesehatan Nasional aka BPJS memang mengubah paradigm dokter terhadap pelayananya selama ini. Mau tidak mau, suka tidak suka segala sesuatu seperti “diatur” oleh sang juragan BPJS. Penulis menyadari bahwa program ini sangatlah baik namun resistensi para dokter yang sudah berada nyaman di pola pra BPJS membuat para dokter demotivasi bahkan cenderung frustasi menjalankannya.

Aturan aturan yang banyak dan ancaman fraud dengan sistem paket koding penyakit ala INA CBGS berdasarkan nomenklatur International Classification of Disesases and Releated Problems versi X untuk diagnosis dan versi IX CM untuk prosedur tindakan menambah beban stress para dokter. Apalagi harga paket yang diterapkan rasanya tidak masuk akal dan sangat menurunkan income dokter

Padahal kalau mencermati dengan seksama, dokter bersedia kerjasama dan persyaratan dilengkapi dengan manajerail yang piawai untuk penagihan maka para dokter mendapatkan banyak keuntungan dan meningkatkan penghasilan. Namun tentu dengana itikad baik, mau berjerih lelah dan taat aturan.. Di titik ini daerah abu abu yang sering terjadi karena pemahaman dokter sebagai “BOSS BESAR yang DILAYANI” sudah harus berbalik 180 derajat. Kejadian ini sangat nyata terjadi di Fasilitas Kesehatan tingkat II (RS type B dan C) bahkan terjadi di tingkat III sekalipun.

Dengan metode berjenjang sebenarnya pasien itu akan semakan banyak di RS type B dan C yang melayani rujukan dari tingkat pertama (puskesmas dan klinik provider) juga menerima rujuk balik dari tingkat 3 (Rs type A) yang membuat jumlah pasien akan sangat banyak. Dokter harus lebih rajin meneliti apakah penegakan diagnosis dengan memakai alat mahal apakah rutin di gunakan karena dengan harga mahal tentu pembiayaan akan cepat habis. Metode paket akan menghargai sekian juta rupiah tanpa memandang jumlah hari rawat dan prosedur diagnostik apa yang digunakan.

Sebagai seorang yang bekerja di Rekam Medis membawahi bagian koding BPJS Rumah Sakit, pemahaman Dokter Spesialis yang salah terhadap BPJS karena ketidak tahuannya berujung friksi dengan manajemen RS. Sering kita dengan dokter ini atau dokter itu tidak bersedia melayani pasien BPJS atau membatasi hingga 5 saja karena takut tidak dibayar. Menggunakan CT scan, pemeriksaan Lab yang kompleks dan tak perlu alih alih manajemen pasien secara holistik, penggunaan obat yang mahal merupakan cerminan dokter yang tidak mengerti dan tidak mau berubah terhadap zona nyaman selama ini. Tidak boleh lagi ada independensi dokter yang melayani pasien dengan kebiasaan lama.

Sebenarnya pola CLINICAL pathway yang sudah dimiliki beberapa RS adalah pola manajemen pasien yang sesuai dengan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di RS namun beberapa kalangan dokter yang tak terbiasa menjalankannya dengan dalih cara pengobatan selama ini yang tidak mau diatur karena bersifat independen mempersulit manajemen RS mengendalikan biaya

Di lain pihak aturan BAPJ yang terkadang kurang sosialisasi dengan terkesan inkonsisten mempersulit dan mempengaruhi kinerja dokter. Misalnya dari Paru untuk kasus TB keluar peraturan paru yang memang diwajibkan ditangani di Fasyankes tingkat 1 dan tidak akan dibayar bila di klaim di Fasyankes tingkat 2 namun berjalannya waktu untuk kasus ini kembali bisa di tangani di Fasyankes tingkat 2. Pasien malah menuduh RS yang tidak konsisten dulu bisa kenapa tidak…dulu tidak bisa kenapa sekarang bisa . Berujung pasien ngomel dan marah di meja pendaftaran padahal RS hanya menjalankan aturan. Sosialisasi atuan hanya sampai ke tangan manajemen dan tidak diteruskan ke dokter membuat pelayanan menjadi tak beraturan, silang pendapat dan berujung pada keengganan melayani pasien jaminan BPJS

Akhir kata sudah selayaknya semua pihak menjalankan aturan dengan sebaik baik nya dengan konsisten dan sturan tersosialisasi baik dan pasien dapat terlayani baik. Revolusi mental dibutuhkan saat ini……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun