gambar dari lifenews.com
Salam
Layanan kesehatan di negara kita tercinta boleh dibilang masih jauh tertinggal di banyak hal. Ketertinggalan ini sangat mempengaruhi masyarakat untuk mencari yang terbaik bahkan harus pergi berobat ke luar negri walau hanya sekedar konsultasi penyakit ringan. Layanan pengobatan pasien di luar negri tampak lebih modern, dengan layanan yang ramah, bahkan kadang kadang lebih murah pula untuk beberapa prosedur tertentu, Bila pembaca kompasioner ditanya apabila finansial mendukung pilih mana berobat di dalam atau di luar negri. Mungkin jawabannya sama luar negri ! Hal ini tentu membuat kita bertanya tanya, di lain pihak kesedihan melanda para praktisi medis yang sering memberi kontribusi terhadap "kaburnya" pasien ke luar negri
Dimana letak permasalahan kita sebenarnya ? Dengan dimulainya sistem BPJS seharusnya ketertarikan untuk berobat dalam negri semakin meningkat. Dengan premi 60ribu sebulan kita menikmati fasilitas rawat jalan dan rawat inap kelas 1 yang (katanya) gratis. Namun tampaknya masyarakat banyak yang belum tahu, RS swasta enggan bergabung jadi provider, bahkan tenaga kesehatan mengeleuhkan, apalagi pasien. Dan animo pasien berobat ke luar negri nampaknya tidak turun bahkan semakin tinggi. Bila sakit mereka langsung pesan tiket dan ngacir ke negara tetangga (Singapura. Malaysia, Australia, Thailand bahkan sampai Jepang, Eropa dan Amerika).
Kalau kita mau intisarikan masalah yang ada tentu sebenarnya bukan rahasia umum lagi bahwa keburukan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan negri seperti RSU/RSUD, layanan yang tak nyaman dan lama membuat customer (pasien dan keluarganya) tidak betah. Di luar negri kadang sulit membedakan mana RS negri mana private karena dari segi mutu dan layanan semuanya terstandar.
Permasalahan ini coba saya uraikan satu demi satu secara garis besar
A. Pemberi Jasa (dokter) mahluk setengah dewa
Sebenarnya dokter Indonesia pintar pintar tidak kalah dengan negara tetangga bahkan mereka juga mengakui demikian. Namun letak permasalahan bukan hanya dibutuhkan dokter yang pintar dengan predikat cum laude namun ternyata pasien benyak tidak merasakan empati dari sang dokter. Komunikasi seakan terhambat, diagnosis dan terapi tidak akurat, dokter segan menjelaskan, penggunaan kata kata yang irit, emosional tak terbantahkan, apalagi bila dibanding dokter lain yang setara, tidak bisa dihubungi dalam keadaan emergensi, angkuh dan seabrek "dosa-dosanya". Bila di klinik/Puskesmas dokter sering terlambat, melayani tergesa gesa karena banyaknya pasien dan lainnya. Perlu dipahami bahwa dokter harus membatasi pasien, tidak praktek terlalu lelah, dan harus tetap menjaga komunikasi dan empati. Anggapan bahwa dokter mahluk setengah dewa harus dihilangkan dari benak sang dokter da mulailah berpikir sebagai pelayan dengan senyum da rendah hati. Empati dan mendengarkan selain memang harus melatih diri sendiri dan meningkatkan ketrampilan. Perlu dicatat masih banyak kok dokter yanga baik ... namun kok tidak terasa.
B. Layanan keperawatan payah
Keperawatan di RSU dan RSUD tampaknya menjadi sorotan tersendiri. mereka terampil cekatan namun judesnya minta ampun. Dengan gagang kacamata tebal bagai nenek sihir yang siap menerkam, komunikasi yang tidak berjalan baik. Bila di swasta tampak nya sang perawat tidak terampil, masih belum berpengalaman, dan malas. Pelit senyum dan amat disibukkan dengan pekerjaan administrasi sehingga asuhan keperawatan yang paripurna tidak tercipta. Tidak jarang pasien dan perawat jadi berdebat panas, pasien merasa tidak nyaman dan marah-marah atau sebagian pasien merasa takut meminta ini dan itu sehingga akhirnya pasien merasa terintimidasi dan tidak betah