KAPTEN kapal cepat yang kami tumpangi mulai memperlambat laju kapal saat mendekati kawasan pesisir Teluk Arguni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Jumat (28/11/2014). Jarum jam di dinding kapal menunjukkan pukul 11.30.
[caption caption="Panorama Perairan Arguni"][/caption]Burung camar, sesekali terlihat menyambar laut yang terlihat teduh tak beriak. Sementara penumpang lain termasuk beberapa rekan jurnalis, sigap memotret panorama pesisir.
“Itu kampung Arguni,” kata Frengky Kaiway, seorang penumpang. Ia adalah pekerja pada proyek Tangguh LNG, tepatnya menjabat sebagai Coordinator Tangguh Expansion Community Affair. Ia sangat antusias menunjuk ke sebelah kanan lambung kapal, ke arah sebuah kawasan pemukiman di bibir pantai.
[caption caption="Kampung Arguni dan Taver"][/caption]“Kalau itu,” ia berbalik menunjuk ke kiri, juga ke arah sebuah pemukiman di seberang sana, “Kampung Andamat dan Furir. Di sana ada juga Fior dan Darembang”. Tampaknya Frengky mengenal betul kawasan ini.
Dari balik kaca, panorama kampung pesisir yang ditunjuk oleh Frengky memang memunculkan rasa takjub. Gugus pulau – pulau kecil di Kawasan Teluk Arguni yang berhadapan dengan pulau besar tanah Papua, mengingatkan saya pada keindahan Kepulauan Raja Ampat. Bedanya kepulauan di Teluk Arguni belum terekspos semassif Raja Ampat.
Hidayat Alhamid, salah satu penumpang kapal cepat ini dan juga rekan kerja Frengky sempat berkelarakar soal bagaimana pulau-pulau kecil itu diciptakan dengan menggunakan analogi pisang goreng. Sepanjang perjalanan, Hidayat memang tak pernah kehabisan bahan.
“Mungkin caranya sama. Ibarat Tuhan sedang goreng pisang. Bedanya pisang dicelup ke minyak panas, kalau pulau ini dicelup kedalam laut,” kata Bang Dayat—begitu kami menyapanya. “Nah pulau besar itu pisangnya. Sementara pulau-pulau kecil ini adalah titik-titik terigu yang terlepas dari pisang.”
Semua orang tertawa. Yang lain tersenyum, geleng-geleng kepala.
[caption caption="Bang Hidayat Alhamid"]
Sebuah pohon tua yang tampak sebagai bonsai raksasa di atas gundukan batu di sebelah kanan dermaga menjadi penanda pertama kampung ini. Seolah ia mengatakan, “Selamat datang di Arguni”. Kubah Masjid kampung juga terlihat dominan di tengah areal pemukiman, demikian halnya deretan rumah di atas punggung bukit.
Terik mentari menyambut kami di Kampung, namun terbayar oleh kehangatan warga dan senyum malu-malu sejumlah bocah di dermaga. Seorang pria lalu tiba menjulurkan salam lalu memeluk bang Dayat, sepertinya mereka sangat akrab. Kami bergilir menyalaminya.
“Jamaluddin Mumuan,” Ia memperkenalkan diri. “Beliau ketua koperasi nelayan di sini,” jelas Bang Dayat soal pria itu. Jamaluddin membawa kami ke sebuah bangunan di samping tanggul. Rupanya itu adalah kantor koperasinya yang baru.
[caption caption="Koperasi Nelayan di Arguni"]