Mohon tunggu...
Patrix Barumbun Tandirerung
Patrix Barumbun Tandirerung Mohon Tunggu... -

(me)manusia seutuhnya. Toraja-Manokwari. Berkicau di burung biru @patrixisme82. Acem Akwop...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kampung Arguni dan Analogi Pisang Goreng

22 April 2016   03:34 Diperbarui: 22 April 2016   04:31 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KAPTEN kapal cepat yang kami tumpangi mulai memperlambat laju kapal saat mendekati kawasan pesisir Teluk Arguni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Jumat (28/11/2014). Jarum jam di dinding kapal menunjukkan pukul 11.30.

[caption caption="Panorama Perairan Arguni"][/caption]Burung camar, sesekali terlihat menyambar laut yang terlihat teduh tak beriak. Sementara penumpang lain termasuk beberapa rekan jurnalis, sigap memotret panorama pesisir.

“Itu kampung Arguni,” kata Frengky Kaiway, seorang penumpang. Ia adalah pekerja pada proyek Tangguh LNG, tepatnya menjabat sebagai Coordinator Tangguh Expansion Community Affair. Ia sangat antusias menunjuk ke sebelah kanan lambung kapal, ke arah sebuah kawasan pemukiman di bibir pantai.

[caption caption="Kampung Arguni dan Taver"][/caption]“Kalau itu,” ia berbalik menunjuk ke kiri, juga ke arah sebuah pemukiman di seberang sana, “Kampung Andamat dan Furir. Di sana ada juga Fior dan Darembang”. Tampaknya Frengky mengenal betul kawasan ini.

Dari balik kaca, panorama kampung pesisir yang ditunjuk oleh Frengky memang memunculkan rasa takjub. Gugus pulau – pulau kecil di Kawasan Teluk Arguni yang berhadapan dengan pulau besar tanah Papua, mengingatkan saya pada keindahan Kepulauan Raja Ampat. Bedanya kepulauan di Teluk Arguni belum terekspos semassif Raja Ampat. 

Hidayat Alhamid, salah satu penumpang kapal cepat ini dan juga rekan kerja Frengky sempat berkelarakar soal bagaimana pulau-pulau kecil itu diciptakan dengan menggunakan analogi pisang goreng. Sepanjang perjalanan, Hidayat memang tak pernah kehabisan bahan.

“Mungkin caranya sama. Ibarat Tuhan sedang goreng pisang. Bedanya pisang dicelup ke minyak panas, kalau pulau ini dicelup kedalam laut,” kata Bang Dayat—begitu kami menyapanya. “Nah pulau besar itu pisangnya. Sementara pulau-pulau kecil ini adalah titik-titik terigu yang terlepas dari pisang.”

Semua orang tertawa. Yang lain tersenyum, geleng-geleng kepala.
[caption caption="Bang Hidayat Alhamid"]

[/caption]Sambil menikmati joke segar bang Dayat, kapal pun merapat di dermaga. Satu persatu penumpang keluar. Saya memilih menjadi penumpang kedua yang menginjak Kampung Arguni siang itu. Tentu saja yang pertama adalah anak buah kapal yang sigap menambat tambang perahu di dermaga.

Sebuah pohon tua yang tampak sebagai bonsai raksasa di atas gundukan batu di sebelah kanan dermaga menjadi penanda pertama kampung ini. Seolah ia mengatakan, “Selamat datang di Arguni”. Kubah Masjid kampung juga terlihat dominan di tengah areal pemukiman, demikian halnya deretan rumah di atas punggung bukit.

Terik mentari menyambut kami di Kampung, namun terbayar oleh kehangatan warga dan senyum malu-malu sejumlah bocah di dermaga. Seorang pria lalu tiba menjulurkan salam lalu memeluk bang Dayat, sepertinya mereka sangat akrab. Kami bergilir menyalaminya.

“Jamaluddin Mumuan,” Ia memperkenalkan diri. “Beliau ketua koperasi nelayan di sini,” jelas Bang Dayat soal pria itu. Jamaluddin membawa kami ke sebuah bangunan di samping tanggul. Rupanya itu adalah kantor koperasinya yang baru.
[caption caption="Koperasi Nelayan di Arguni"]

[/caption]Terletak di pesisir, Kampung Arguni tak bisa dilepaskan dari budaya bahari dan kampung tetangga, Taver. Dulu sebelum mekar menjadi kampung sendiri, kampung Taver masuk dalam wilayah kampung Arguni. Keduanya secara tradisional berada dalam satu Petuanan Adat yang dipimpin seorang raja. Warga kebanyakan berprofesi sebagai nelayan dan berkerabat satu-sama lain.

Misalnya Jamaluddin Mumuan yang tinggal di Distrik Taver dan Abu Bakar Mumuan tinggal di Kampung Arguni. Keduanya bersaudara. Rumah mereka hanya berjarak beberapa meter. Penanda batas dua kampung ini hanyalah sebuah tugu selamat datang, tugu yang tak mungkin memutus persaudaraan mereka.

Pemekaran kampung sepertinya hanya bersifat administratif. Lagipula ada untungnya bagi warga sebab sejumlah anggaran yang berbasis kampung dikucurkan pemerintah ke masing-masing kampung ini.

Di sisi jalan terdapat beberapa papan proyek mulai dari dari proyek pembangunan jalan kampung berupa beton dari program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) hingga pengumumn pembangunan profil tank untuk menampung air hujan yang anggarannya berasal dari dana Otonomi Khusus.

Nuansa dua kampung yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga ini sebagai desa Bahari sangat terasa. Sejumlah warga tampak sibuk memperbaiki jaring. Kaum lelaki membuat perahu dan beberapa ibu-ibu sedang sibuk menjemur rumput laut.
[caption caption="Menjemur Rumput Laut"]

[/caption]Saya mendapati Nurlia Daeng Husaen, istri Abu Bakar Mumuan duduk di sebuah para-para depan rumahnya yang terletak di punggung bukit, kurang lebih 400 meter dari dermaga. Sebuah tanjakan kecil menuju rumahnya berupa jalan setapak menyerupai tangga, cukup untuk membakar kalori.

Ia baru saja selesai menjemur rumput laut. Nurlia mengipas diri, keringatnya mengalir deras. Sesekali ia menyekanya sembari membiarkan tubuhnya dibelai hembusan angin laut.

Saya hendak mengetahui bagaimana relasi gender yang terbangun dalam proses pembagian kerja di komunitas nelayan ini. Jawabannya Nurlia singkat: “Disini laki-laki dan perempuan sama-sama kerja,” katanya. “Kalau suami pergi mancing, beta ikut tidak apa-apa. Tapi sekarang ibu-ibu lebih banyak urus rumput laut karena lebih ringan. Bapak-bapak dorang yang melaut.”

Namun perbincangan kami segera terhenti. Dari bawah, adzan menggema melalui sebuah pengeras suara. Seruan itu memanggil umat muslim—laki-laki—mengikuti sholat Jumat. Warga berbondong-bondong menuju masjid. Arguni dan Taver yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun dibalut suasana religius.

Usai berwudhu—membasuh diri dengan air bersih— yang hakekatnya adalah proses penyucian diri, jamaah melangkah hikmat memasuki masjid. Saya mengenal salah satu diantara mereka, Bang Dayat. Tapi sudah pasti, ia ke masjid ini bukan untuk menghibur para jamaah lewat joke soal risalah penciptaan pulau, apalagi menebar analogi pisang gorengnya yang jenaka itu.

Kampung Arguni dan Taver di Kabupaten Fakfak terletak di sebelah Barat Kabupaten Teluk Bintuni, daerah yang menjadi wilayah operasi perusahaan Inggris, BP. Sejatinya fasilitas proyek perusahaan gas itu dibangun di Distrik Babo, Bintuni.
[caption caption="Site Tangguh, Babo"]

[/caption]Setelah bertahun-tahun melaksanakan eksplorasi, pengembangan proyek dan analisis pasar, BP memulai pengembangan Tangguh untuk membangun kilang/train ketiga yang diproyeksi meningkatkan produksi LNG. Konstruksi akan dimulai pada tahun 2015 dan berlangsung hingga peresmian kilang ketiga di tahun 2019.

Pembangunan kilang ketiga juga akan diikuti oleh pembangunan infrastruktur berupa 2 anjungan di lepas pantai, pipa bawah laut dan sumur baru salah satunya mencakup Kabupaten Fakfak.

Awalnya daerah yang terkena dampak dari proyek ini hanya sebatas 9 kampung. Namun ekspansi Tangguh untuk kilang ketiga serta munculnya spirasi pemekaran kampung akan memperluas cakupan kampung yang terdampak hingga 62 kampung, dari Teluk Bintuni hingga Fakfak-- tak terkecuali Arguni dan Taver.

Dari Babo, Kampung Arguni dan Taver bisa diakses menggunakan perahu cepat, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Sejak 2008 lalu, BP sudah mengarahkan sumberdayanya untuk menggelontorkan sejumlah program pengembangan masyarakat di kawasan tersebut. Salah satunya dengan membina kelompok nelayan.

Kerjasama ini lalu ditindaklanjuti dengan kesepahaman bahwa BP akan membeli ikan dari nelayan setempat untuk kepentingan konsumsi ribuan pekerjanya. Hal yang sama dilakukan di Teluk Bintuni.

“Pendekatan semacam ini dilakukan agar masyarakat tidak kaget saat perusahaan masuk,” kata Frengky Kaywai saat kami berbincang dalam perjalanan dari Babo menuju Taver.

Sementara secara filosofis, Hidayat Alhamid mengatakan, program pengembangan masyarakat bukan hanya dimaksud untuk mengambil hati masyarakat. Lebih dari itu, upaya ini dilakukan agar masyarakat asli Papua yang kelak berhadapan dengan investasi bisa berdaya.

Hakikatnya, kata Bang Dayat adalah agar masyarakat bisa menolong dirinya sendiri.

“Tidak boleh berikir bagaimana perusahaan masuk saja. Tapi juga harus berpikir, bagaimana nasib masyarakat saat perusahaan keluar? Maka jalan terbaik adalah perusahaan harus berbuat: membangun keberdayaan warga terutama orang asli Papua, agar kehadiran BP tidak menciptakan ketergantungan,” katanya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun