Mohon tunggu...
Bart Mohamad
Bart Mohamad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang 'backpacker' yang berkelana di bumi Eropa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kehidupan Serba Mahal di Kopenhagen

18 April 2012   00:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 3508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gudang tua yang berwarna-warni di Nyhavn (Foto: BM)

Dari 'City of Smiles' yaitu kota Aarhus saya naik kereta menuju ke Kopenhagen. Perjalanan memakan waktu lebih 3 jam dengan melewati 2 buah jembatan ke Pulau Zealand. Panaroma yang menarik di sepanjang jalan memang memukau pandangan. Perjalanan melalui bentuk muka bumi yang hijau dan kereta kemudian menyeberang ke Pulau Funen dengan Jembatan Old Little Belt. Dari Pulau Funen kereta sekali lagi melalui Jembatan Great Belt yang melintang Selat Great Belt ke Pulau Zealand dimana terletak kota Kopenhagen.

Kereta bergerak laju dan kamera saya tidak dapat merekam momen indah sepanjang perjalanan. Tetapi panaorama cantik itu tetap utuh di memori. Tiket kereta dari Aarhus ke Kopenhagen berharga DKK180.00 (Rp290.000.00) yang telah saya pesan sejak jauh hari lagi. Harganya lumayan murah dengan jarak perjalanan lebih 300 km. Jika Anda membeli tiket secara online menggunakan kartu debit atau kredit, pastikan Anda membawa kartu tersebut bersama. Ini karena identitas (ID) untuk tiket Anda adalah kartu yang Anda gunakan ketika pembelian tersebut. Empat nomor terakhir kartu debit atau kredit Anda akan tercantum di dalam tiket. Pengawas kereta akan meminta kartu Anda ketika mereka mengecek tiket. Jadi, jangan gunakan kartu orang lain jika mereka tidak bersama-sama Anda dalam perjalanan tersebut. Layanan kereta di Denmark di bawah kelolaan Danske Statsbaner (DSB) yang pada penilaianan saya sangat baik.

Sesampai saja di Copenhagen Central Station saya berjalan menuju ke hostel yang telah dipesan. Saya terkagum dengan jumlah sepeda di jalan-jalan. Selain kota Amsterdam yang dianggap sebagai kota sepeda, Kopenhagen juga memiliki situasi yang sama. Sepeda di kota ini lebih banyak dari mobil. Bahkan 36 persen penduduk kota ini menggunakan sepeda sebagai moda tranportasi. Hostel yang saya pesan tidak jauh dari stasiun kereta dan hanya 5 menit berjalan kaki. Meskipun dekat saya tersasar juga menemukan arah hostel. Hal yang biasa terjadi pada saya dalam banyak perjalalanan sebelum ini. Jadi solusinya adalah 'kalau tersesat jalan harus kembali ke pangkal jalan'. Setelah bertanya dengan orang di jalanan, akhirnya saya menemukan juga hostel itu yang terdekat dengan sebuah dataran yang dinamakan Israel Square. Sebelum tahun 1958 dataran Israel ini adalah sebuah pasar menjual sayuran dan kemudian berubah menjadi dataran untuk rekreasi.

Orang Israel atau bangsa Yahudi di Denmark telah ada lebih 400 tahun dahulu dan kini diperkiranya ada 7.000 orang populasi bangsa Yahudi yang mayoritasnya di kota Kopenhagen. Meskipun populasi Yahudi sangat kecil tetapi peranan mereka di anggap penting sehingga terdapat sebuah dataran yang dinamakan Israel Square. Di tengah dataran ini ada sebuah tugu batu yang tertulis "This stone from the Holy Land is a gift to the Danish People from friends of Denmark di Israel 1975 - And night fell and morning came".

Di kamar hostel saya menemukan seorang pemuda yang berasal dari Polandia. Beliau sangat ramah dan bercerita tentang apa saja dan bahasa Inggrisnya juga sangat lancar tidak seperti kebanyakan warga Polandia yang saya temui ketika mengembara ke Krakow. Beliau bekerja di sebuah bar di Inverness di tengah Skotlandia yaitu lokasi dimana letaknya danau Lochness yang terkenal dengan legenda raksasa Nessie. Menurut beliau 2 tahun lalu bahasa Inggrisnya sangat buruk dan ia memutuskan hijrah ke Skotlandia untuk bekerja dan dalam waktu yang sama mempelajari bahasa Inggris. Dengan termaterinya Perjanjian Maastricth pada tahun 1993 untuk membentuk Uni Eropa, rakyat negara anggota bebas bekerja yang mana-mana negara. Ia mengambil kesempatan ini untuk memperbaiki taraf hidup dan berhijrah ke kota kecil di Inverness. Saya pernah ke Inverness dan kota ini memang kota kecil dan memakan waktu perjalanan lebih 3 jam dari Glasgow dengan naik mobil melalui jalan-jalan yang kecil di lereng-lereng bukit.

Saya kagum dengan semangat pemuda ini dan beliau ke Kopenhagen adalah dalam rencana mencari tempat studi S1 ​​di univesitas Kopenhagen. Dalam waktu yang sama, beliau juga mengintai peluang pekerjaan yang bisa di peroleh dikota ini untuk membiayai biaya hidup beliau ketika mengikuti pengajian nanti. Meskipun studi di Denmark menggunakan bahasa Denmark, beliau tetap semangat untuk melanjutkan cita-citanya. Saya bertanya kepadanya, kenapa tidak mengambil S1 di Inggris saja karena bahasa Inggrisnya juga sudah cukup baik. Katanya, tutition fee di Denmark adalah gratis untuk rakyat lokal dan UE, tidak seperti di Inggris ia harus bayar meskipun lebih murah dibandingkan siswa dari negara yang bukan EU.

Mengenang kembali saat pertama ia bekerja sebagai pelayan bar di Inverness, banyak peristiwa lucu yang ia alami. Pernah beliau memberi pesan yang salah kepada pelanggan karena kurang paham bahasa Inggris. Apalagi orang Skotlandia berbicara bahasa Inggris dengan accent Scottish yang kental. Semua itu adalah pengalaman yang berharga untuk beliau dan saya melihat ia semakin percaya diri dan lebih terbuka. Setelah dua tahun di bekerja keras dan tinggal dibilik sempit di lantai atas bar dengan seorang lagi rekan, sudah saatnya beliau melanjutkan studi yaitu cita-cita asalnya. Saya sangat terkesan dengan semangat beliau yang kuat. Dimana ada kemauan di situ ada jalan.

Hostel tempat tinggal saya agak mahal tetapi itulah hostel yang paling murah yang bisa saya temui di kota Kopenhagen. Harga per malam adalah DKK162.00 (Rp260.000) dan saya membayar DKK486.00 (Rp780.000) untuk 3 malam. Harga yang dibayar itu termasuk sarapan. Rekan saya dari Polandia itu mengesyorkan agar makan sepuas-puasnya ketika sarapan dan kemudian tidak perlu lagi makan siang. Sarapan dihostel itu juga lumayan bagus karena memberikan cereal dan roti yang bisa mengenyangkan. Menurut beliau, setiap hari ia melakukan hal yang sama agar dapat menghematkan uang karena makan siang di Kopenhagen sangat mahal dan tidak terjangkau dengan bajet backpackers. Saya juga mempraktiskan hal yang sama.

13347100651891661370
13347100651891661370
36 persen penduduk Kopenhagen menggunakan sepeda (Foto: BM)

***************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun