Mohon tunggu...
Rafi Baron Juliaqil
Rafi Baron Juliaqil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Prodi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya menyukai hal-hal yang berkaitan dengan games, olahraga dan isu kontemporer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aktivitas Agresif Tiongkok di Laut China Selatan dan Dampaknya Terhadap Indonesia

31 Mei 2024   23:30 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:08 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Laut China Selatan, bagaikan mutiara yang diperebutkan, telah lama menjadi arena perebutan wilayah dan sumber daya alam yang berharga. Di balik keindahannya, terkandung sejarah panjang sengketa yang kompleks dan penuh ketegangan, terutama antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara tidak terkecuali Indonesia. 

Akar sejarah sengketa Laut China Selatan (LCS) dapat ditelusuri Kembali ke abad ke-16, Ketika negara-negara di kawasan tersebut mulai terlibat dalam perebutan wilayah dan sumber daya laut berlanjut pada abad ke-19 dan awal abad ke 20-an, kekuatan kolonial seperti Prancis dan Inggris mulai memetakan dan mengklaim pulau-pulau di Laut China Selatan sebagai bagian dari koloni mereka dan diikuti Tiongkok yang mulai membuat klaim teritotial di LCS, yang didasarkan pada peta-peta kuno dan interpretasi sejarah yang kontroversial dan sepihak.

            Pada tahun 1948, Tiongkok mengeluarkan peta dengan garis putus-putus yang dikenal sebagai "Nine Dash Line". Garis ini mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, termasuk pulau-pulau, terumbu karang, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) negara-negara lain. Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara tetangga dan dianggap melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). 

Klaim "Nine Dash Line" Tiongkok ditentang keras oleh negara-negara tetangganya, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Mereka berpendapat bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum dan melanggar Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum dalam UNCLOS, namun Tiongkok menolak putusan ini.

            Indonesia telah mengambil pendekatan politik netral dalam menangani sengketa Laut Cina Selatan. Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa wilayah tersebut dan tetap netral sebagai mediator terpercaya. Indonesia berpandangan bahwa dirinya bukanlah negara yang memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan atau bisa disebut sebagai non-claimant states. 

Sebagai negara yang menganut politik luar negara bebas aktif, Indonesia secara aktif  mendukung penegakan hukum dalam sengketa Laut Cina Selatan dan secara aktif  mendorong  diplomasi penyelesaian konflik. Namun, seiring berjalannya waktu, Tiongkok telah menunjukkan beberapa aktivitas agresif di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir, yang menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga dan komunitas internasional.

Tiongkok telah meningkatkan aktivitas militernya di Laut China Selatan, termasuk membangun pulau-pulau buatan, mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur, dan melakukan latihan militer secara rutin. Peningkatan militerisasi ini telah memicu kekhawatiran di negara-negara tetangga tentang niat Tiongkok dan potensi penggunaan kekuatan militer untuk menegakkan klaimnya. 

Kapal-kapal penjaga pantai dan penangkap ikan Tiongkok juga telah berulang kali memasuki ZEE negara-negara tetangga di Laut China Selatan tanpa izin. Aktivitas ini telah mengganggu kegiatan ekonomi dan merusak sumber daya alam di wilayah tersebut. Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Malaysia telah berulang kali memprotes pelanggaran ZEE oleh Tiongkok. Belum lagi Intimidasi Terhadap Kapal Nelayan serta penangkapan dan penahanan nelayan asing yang dilakukan oleh Tiongkok yang dicemaskan dapat memicu provokasi dan sentiment negara-negara tetangga.

Pada artikel CNN International, pakar maritim menilai China mengadopsi taktik yang lebih agresif. Ini dikhawatirkan memicu gesekan baru dengan Indonesia dan Malaysia. Pakar mengingatkan bahwa China mengandalkan pulau buatan untuk kehadiran militer mereka. "(Pulau-pulau) itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, ini secara efektif menjadikan Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara garis depan," ujar Greg Polling, direktur Asia Maritime Transparency Institute (AMTI). Manuver China tak terlepas dari ambisi negara itu untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus. Konsep itu tak diakui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

Dampak aktivitas agresif Tiongkok di Laut China Selatan terhadap Indonesia seperti Meningkatnya ketegangan dan potensi konflik di kawasan. Pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat negara-negara tetangga. Gangguan terhadap kegiatan ekonomi dan kerusakan sumber daya alam. 

Terhambatnya pembangunan ekonomi di kawasan. Menurunnya kepercayaan terhadap hukum internasional. Hal-hal tersebut sudah terbilang dampak negatif yang ditimbulkan oleh Tiongkok itu sendiri. Aktifitas Tiongkok di Laut Cina Selatan memberikan tantangan besar bagi Indonesia dalam menjaga kedaulatan dan kedaulatan atas ZEE Kepulauan Natuna. Menjaga kepentingan nasional Indonesia di Laut Cina Selatan memerlukan upaya diplomasi yang berkelanjutan, penegakan hukum maritim yang kuat, dan kerja sama internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun