Pagi ini, aku menemukan layang-layang sangkut di pohon jeruk purut yang ada di halaman rumahku. In adalahi layang-layang yang ke 7 yang aku ambil dari pohon itu. Terdapat banyak sobekan akibat gesekan-gesekan dari benang yang nyangkut di ranting.
Sejak musim layang-layang, hampir setiap sore anak-anak di komplek perumahan tempat aku tinggal bermain layang-layang. Hiruk pikuk suara mereka terkadang mengganggu ketenanganku.Â
Apalagi ketika laying-layang mereka putus dan melayang-layang tak tau arah. Mereka bersorak-sorak sambil mengejar layang-layang putus itu.Â
Ketika laying-layang putus itu mendarat di pohon yang ada di pekarangan rumahku, mereka tak kuasa mengambilnya. Tembok setinggi 2 meter menjadi penghalang usaha mereka untuk meraihnya.Â
Jika sedang datang baikku, aku mengambil laying-layang sangkut itu kemudian menyerahkan lagi ke mereka. Tapi, kali ini aku lagi bernafsu untuk berbaik-baik pada anak-anak itu. Suara mereka bikin bad moodku muncul. Kubiarkan saja mereka berteriak-teriak yang dibalas lantang oleh anjing peliharaanku.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari layang-layang nyangkut itu. Tapi, di lubuk hati yang paling dalam, aku memiliki memori kelam dan menyedihkan tentang layang-layang.
Ceritanya begini, Â
Sebenarnya, sejak kecil aku tidak suka dengan permainan layang-layang. Bagiku bermain laying-layang sangat monoton dan menjenuhkan.Â
Apalagi kita harus berpanas-panasan untuk menaikkannya agar bisa melayang-layang diudara. Jika ada layang-layang lain mendekat, saatnya untuk adu kekuatan benang.Â
Jika kalah, maka layang-layang akan putus dari benangnya dan melayang-layang mengikuti arah angin membawanya entah kemana hingga mendarat ditempat yang tidak diduga-duga.