Mohon tunggu...
Very Barus
Very Barus Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Writer, Traveler, Runner, Photo/Videographer, Animal Lover

Mantan jurnalis yang masih cinta dengan dunia tulis menulis. Sudah menelurkan 7 buah buku. Suka traveling dan Mendaki Gunung dan hal-hal yang berbau petualangan. sejak 2021 menyukai dunia lari di usia setengah abad. target bisa Full Marathon. Karena sejatinya hidup adalah sebuah perjalanan, maka berjalannya sejauh mana kaki melangkah. Kamu akan menemukan banyak hal yang membuat pikiran dan wawasanmu berbicara. Saya juga suka mengabadikan perjalan saya lewat visual. Anda bisa menyaksikannya di channel Youtube pribadi saya (www.youtube.com/verybarus). Saya menulis random, apa yang ingin saya tulis maka saya akan menulis. Tidak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pendakian Gunung Arjuno Jalur Sumber Brantas Part 2 | Sorry, You're Not my Favorite Mountain

23 Juni 2023   12:45 Diperbarui: 23 Juni 2023   12:46 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kedua

Pukul 03.30 subuh, kami terbangun gara-gara setting alarm berbunyi dengan nyaringnya. Mata masih sepet karena masih terlalu dini untuk bangun. Apa boleh buat, jadwal bangun pagi emang disetting subuh hari untuk melanjutkan pendakian ke puncak Arjuno. Gue dan kedua teman pun bangun dengan berat hati. Ritual pagi biasanya buat sarapan ala kadarnya yang cepat saji. Biasanya, gue membawa oatmeal atau roti tawar yang diseduh dengan kopi atau the panas. Sayangnya, kedua teman enggan masak air karena butuh proses yang ribet. Alhasil, pagi itu gue hanya sarapan roti tawar dua tangkup dan dibasuh dengan air putih yang super dingin karena embun pagi.

Selesai sarapan, gue sempatkan melakukan ritual kedua yaitu, BOKER! Setiap pagi, dimana pun, gue wajib boker. Sebenarnya hal terberat yang dilakukan di gunung adalah BOKER. Tapi, karena sudah terbiasa boker pagi mau nggak mau itu seperti sudah ter setting. Isi perut minta dikeluarkan. Ketimbang menjadi masalah saat muncak nanti, gue memilih mengeluarkan isi perut terlebih dahulu. Sekop kecil yang sellau gue bawa setiap mendaki gunung langsung gue pegang beserta tisu kering dan tisu basah. Mencari tempat yang aman dan nyaman untuk beritual alias boker.

foto dokpri
foto dokpri

Pukul 04:00 subuh, Selesai boker, kami pun bersiap-siap untuk mulai muncak. Baca doa bersama juga wajib dilakukan agar terhindar dari petaka atau hal-hal yang tidak diinginkan saat pendakian. Kami menapati jalan yang sangat gelap. Lintasan yang sama sekali belum pernah kami lalui. Hanya cahaya senter kepala (head lamp) yang menyinari setapak demi setapak jalur. Sementara di kanan kiri muka belakang tampak gelap banget. Ketika disinari cahaya lampu senter, ternyata di kiri jalur ada jurang yang lumayan bahaya jika tidak hati-hati.

Sama seperti pendakian gunung-gunung sebelumnya, menuju puncak memang selalu memiliki medan yang berat. Begitu juga dengan gunung Arjuno. Mulai dari jalur yang gelap gulita sampai terik matahari menyinari pagi hari, kaki sudah entah berapa langkah berjalan tapi belum juga sampai di puncak.

Disinilah gue mulai merasa teramat lelah. Merasa pendakian yang sudah memakan waktu berjam-jam tapi tidak juga menemukan titik terang puncak Arjuno. Benar-benar melelahkan.

Oiya, sebelumnya, kami punya planning akan mendaki 3 puncak gunung lainnya. Yaitu, puncak Welirang, Puncak Kembar 1 dan 2. Tapi semua gagal. Karena, awal sampai di pos 4 hujan turun dengan derasnya sehingga rencana muncak ke Welirang pupus. Begitu juga dengan Puncak kembar 1 dan 2 juga diurungkan karena fisik sudah tidak mampu untuk melanjutkan puncak-puncak lainnya.

puncalk Arjuno foto dokpri
puncalk Arjuno foto dokpri

             

 Untuk mencapai puncak Arjuno atau disebut puncak Agal Agil, dibutuhkan waktu kurang lebih 4sampai 5 jam. Tapi, kami tiba di puncak setelah 4 jam pendakian dengan medan yang ber aneka rasa sensasinya. Benar-benar melelahkan. Ditambah lagi cuaca panas dengan terik matahari berkapasitas 4PK barangkali. Sehingga rasa dahaga ditenggorokan.

Ketika tiba di puncak Ogal Agil, ekspresi gue bener-bener datar. Tidak ada rasa excited seperti pendaki-pendaki lainnya. Ada yang berteriak-teriak. Ada yang melantunkan yel-yel. Bahkan ada yang beruraian airmata. Gue sih biasa-biasa saja. Mungkin dikarenakan lelah yang teramat sangat, serta medan yang dilalui banyak siksaannya. Sehingga untuk meluapkan kegembiraan setelah sampai dipuncak pun tidak sanggup lagi. Gue dan teman-teman hanya berfoto bersama. Selebrasi juga foto-foto selfie. Untuk mengambil stok video pun hanya seadannya saja. Tidak ada konsep video yang menarik. Entah kenapa, pendakian ini bener-bener bukan menjadi pendakian yang menggembirakan.

foto dokpri
foto dokpri

              Begitu juga saat turun dari puncak Ogal Agil. Jalan yang kami lalui serasa semakin berat. Padahal jalurnya sama dengan jalur yang kami lalui sebelumnya. Atau mungkin karena fisik yang sudah semakin letoy sehingga jalan yang kami lalui serasa begitu panjang dan melelahkan. Bahkan, untuk tiba di camp area rasanya lamaaa banget. Meski itu hanya ilusi kami saja.

Setibanya di camp area, buru-buru minta air minum di tepat penyimpanan air. Eh, ternyata stok air minum yang kami bawa bergalon-galon katanya habis. Jelas dong gue marah dan murka. Bagaimana mungkin kami yang sudah nyetor duit 50 ribu/orang tidak kebagian air minum? Sementara saat mau mendaki kami juga membawa air minum masing-masing 3 botol di carrier. Alasan yang punya tenda, air habis untuk masak. Busyettt!!

Intinya, drama tentang air dan makanan sudah terasa sejak awal. Kalau begini jadinya, mending bawa makanan dan air minum masing-masing. Jadi ketahuan siapa yang bawa dan yang tidak. Sialan!

Selesai makan siang dengan menu seadannya, kami langsung buru-buru turun tanpa menunggu rombongan yang lain. Karena mereka masih ada yng di puncak dan masih ada juga yang leyeh-leyeh ditenda. Gue sudah begah aja di camp area. Rasanya pengen buru-buru turun dan nyampe basecamp. Gue pengen melampiaskan dahaga dan lapar yang sudah membuncah.

lelah sangat foto dokpri
lelah sangat foto dokpri

 Selain itu, kami juga takut hujan turun saat kami berada dalam perjalanan turun. Karena cuaca memang lagi nggak asyik. Nggak bersahabat. Lagi-lagi, kami mengalami siksaan di jalur turun. Sepanjang jalur yang kami lalui dipenuhi lumpur yang benar-benar menutupi akses kering untuk dilalui. Sudah tidak bisa digambarkan seperti apa wujud sepatu dan celana kami. Semua dipenuhi lumpur. Saat turun, ada sekitar 5 kali gue terpeleset dan badan bercumbu dengan lumpur. Sudah jatuh ketimpa lumpur judulnya. Rasa sakit dan emosi semakin menggunung. Gue semakin pengen terbang agar cepat sampai di basecamp. (halu sih ini...)

              Setelah berjibaku dengan lintasan yang penuh lumpur, akhirnya kami nyampe di Barakseng. Mobil pick up sudah menunggu kami. Rasa haus yang sejak tadi langsung balas dendam meminum air kran yang ada di perkebunan kentang. Asli, haus bangettttt!!!

Tanpa basa basi, gue langsung naik ke mobil pick up dan menyelonjorkan kaki yang sudah termaat capek dan lelah berjalan. Sepanjang berjalanan menuju basecamp, gue memilih memejamkan mata untuk menikmati mobil melaju dengan jalan yang bergelombang.

Nyampe basecamp, langsung menghempaskan carrier yang cukup membebani hidup selama 2 hari itu. Membongkar carrier, mengambil kaos dan celana untuk diganti, juga perlengkapan mandi untuk bergegas ke kamar mandi yang ada air hangatnya.  Selesai mandi, buru-buru ke warung makan mie rebus 2 mangkok plus the manis panas 2 gelas hahhahahaha.. lapar cuy!

              Demikian lah, kisah pendakian ke Gunung Arjuno lewat jalur Sumber Brantas. Mungkin, gunung Arjuno menjadi gunung yang tidak masuk ke dalam kategori favorit dalam pendakian gue. Nggak tau kenapa. Yang jelas, sepanjang pendakian gue tidak merasakan kenikmatan yang bikin terkagum-kagum dan terngiang-ngiang sehingga berjanji akan datang lagi dan lagi.

Jika ditanya alasannya kenapa? Ya, gue juga nggak tau kenapa gue tidak terlalu menyukai gunung ini.


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun