Mohon tunggu...
Muhammad Ihsan
Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... mahasiswa -

pembelajar yang mau belajar. sekarang lagi hobi bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tugas Mahasiswa Bukan Jadi Kelinci

12 Februari 2016   05:30 Diperbarui: 12 Februari 2016   07:09 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam buku Jostein Gardeer, “Dunia Sophie”, saya meminjam pemahaman tentang pertunjukan sulap oleh sang Master. Jadi kira-kira begini yang saya pahami:

Bayangkan, anda sedang berada di dalam ruangan pertunjukan sulap. Ketika si tukang sulap masuk arena, riuh tepuk tangan penonton mulai terdengar. Seketika tukang sulap tersebut memperlihatkan sebuah topi hitam. Dia mengelilingi panggung untuk memperlihatkan kepada penonton bahwa topi tersebut kosong, tak ada isi. Sambil tersenyum, dia memanggil asistennya untuk menyediakan meja dan tongkat sihirnya. Setelah membaca beberapa mantra sihirnya, tongkat disentuhkan ke atas topi. Maka terjadilah sesuatu yang memukau, tiba-tiba seekor kelinci keluar dan meloncat-loncat. Lagi-lagi suara gemuruh tepuk tangan semakin memanaskan suasana.

Kebanyakan dari kita percaya, bahwa kelinci itu bukanlah muncul dari tiada menjadi ada. Sebab itu tak masuk akal. Kita hanya penasaran bagaimana cara kerja trik dari si pesulap tersebut, itulah yang hendak kita cari.  Sederhananya, kita memposisikan diri sebagai penonton yang menilai sehingga disebut sebagai orang ketiga, sebab bukan kita yang terlibat langsung dalam kejadian.

Penilaian kita sebagai orang ketiga dalam melihat pertunjukan tersebut terhitung mudah saja. Bagaimana kalau posisi kita sebagai kelinci yang tak tahu apapun dan tiba-tiba digiring keluar dari topi hitam si pesulap. Kelinci yang penuh kebingungan dalam benaknya tiba-tiba dihadapkan riuh tepuk tangan penonton yang kagum, dan pesulap yang bangga mempermainkannya.

Sayangnya, tulisan ini bukan hendak memperbincangkan masalah filsafat pencarian pencipta. Tulisan ini hanya hendak memaparkan tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia yang hidup layaknya seekor kelinci yang tak tahu apa-apa.

Membahas mengenai kondisi sosial masyarakat Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa sungguh sangat jauh perbedaannya dengan masyarakat Eropa. Kondisi tersebut dapat dilihat pada contoh terkecil seperti kebiasaan  masyarakat Eropa yang sangat tekun membaca. Contoh yang berbanding terbalik di Indonesia, yang mana masyarakat kita “asal dapat makan maka hidup tentram.” Alih-alih rajin membaca seputar kasus politik media yang tak ada habisnya, masyarakat kita lebih suka membahas bagaimana irigasi sawah mereka terbuka dan lancar mengairi persawahan. Bila ada yang menutup aliran irigasi air ke sawah mereka, maka jangan coba-coba menjadi pahlawan mendamaikan mereka, sebab besar kemungkinan andalah yang menjadi korban sabetan golok dan ayunan paculnya.

Jika sudah demikian, maka jangan tanya pada mereka apa tugas dan fungsi presiden, DPR, MPR, kementrian, apalagi Anggaran Dana Desa (ADD). Bentuk struktural negara tak ada artinya bagi mereka. Yang penting, bagaimana mereka hidup sesuai dengan patokan hidup yang layak menurut mereka.

Manapula mereka tahu, tentang teori perjanjian antara masyarakat dan raja, apalagi menganalisa sejarah novel “Arus Balik” Pramudya. Maka sederhananya, kondisi sosial masyarakat kita, tidak mengerti apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka dalam bernegara, sebab tiba-tiba mereka dilemparkan dalam susunan terkecil masyarakat yang menerima Indonesia sebagai negara mereka.

Dalam kasus seperti ini, saya teringat ungkapan Aristoteles yang ditulis dalam buku CF Strong, bahwa sebuah negara seyogianya cukup besar untuk mandiri dalam ekonomi dan cukup kecil untuk saling bertemu antara masyarakatnya. Bahkan ungkapan menarik selanjutnya yang dituturkannya bahwa, bentuk sebuah negara demokrasi bukanlah bentuk negara ideal sebab didalamnya terdapat sebuah kesenjangan yang mana pihak berkuasa akan meninggalkan masyarakat miskin. Bentuk negara yang paling ideal terletak di antara monarki dan aristokrasi yang disebutnya dengan istilah “jalan tengah atau polity.”

Konsep negara polity dari Aristoteles, terletak antara monarki dan aristokrasi. Monarki, dalam pemahaman kita sekarang adalah suatu tatanan kerajaan dimana yang menjadi pucuk pimpinan adalah raja, dengan pemerintahan dengan satu orang. Sedang monarki, adalah suatu tatanan dimana pucuk pimpinan dipegang oleh sekelompok orang. Menurut penulis, konsep ini sangat relevan dengan struktur masyarakat Indonesia, yang mana terdiri dari berbagai suku dan budaya yang hidup di dalamnya.

Saya berpendapat bahwa kondisi masyarakat kita memang sesuai dengan seekor kelinci yang bingung. Permasalahan utamanya adalah terlalu luasnya cakupan demokrasi. Artinya bahwa dalam bentuk negara demokrasi, aspirasi masyarakat hanya diwakilkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Padahal, bentuk perhatian masyarakat kita belum lagi paham akan mekanisme perpolitikan negara. Mereka dibangun atas kebiasaan pendahulu, menyucikan satu orang yang dianggap mampu dan masih banyak lagi nilai budaya lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun