Seperti suatu paradoks yang seringkali terulang dalam sejarah, terus terulang tanpa adanya penambal kesalahan. Hal ini bukan saja rupanya hanya kesalahan yang tidak disengaja, tetapi seperti kesalahan yang memang disengaja. Seperti ada oknum yang berniat dan telah melakukan hal ini lantas menyebar ke sektor lain sehingga merambatlah virus ini tanpa pernah ada yang mengkritisi. Lantas apa maksudnya?
Sejarah dalam Islam pernah mencetak masa kegemilangannya pada era Khalifah Harun Ar-Rasyid. Berkat ketertarikan dan penghormatannya terhadap ilmu banyak ulama yang dipanggil untuk bekerja di istana dan membuat suatu pola tertentu sehingga dapat dijadikan standarisasi patokan dalam berlaku. Suatu ketika dia menyuruh Abu Yusuf untuk membuat aturan berekonomi yang dilandasi dalam Islam, maka jadilah aturan itu, namun tetap menyelaraskan dengan konsep kekinian. Selain Harun, para pendahulunya dalam dinasti Abbasiah telah banyak memberikan jasa dan mencetak banyak tokoh-tokoh ilmuan yang tidak ternilai hingga saat ini.
Lebih jauh lagi, Pra Islam, jauh di sudut kota sana, Yunani. Perkembangan ilmu yang begitu pesat ditingkahi dengan respon yang positif oleh penguasa sehingga banyak melahirkan cendikiawan yang sering kali mempertanyakan hakikat dunia. Suatu ketika Thales membuat rumusan bahwa hakikat bumi ini adalah air. Betul tak ada gunanya bila asas itu masih diberlakukan, akan tetapi, tidakkah kita lupa ada yang terlewat di antara narasi-narasi ini?
Pertanyaan selanjutnya, bukankah kita berdialektika setelah mengetahui apa penggalan pikiran mereka sehingga bisa menyimpulkan sesuatu? Lalu apa instrumen yang mengantarkan kita untuk bisa mengetahui penggalan isi kepala mereka? Seperti Qur’an atau Hadits kah yang diriwayatkan secara turun-temurun, atau dengan proses literasi?
Inilah asal mula kegelisahan dan kecemburuan saya kepada para cendikiawan terdahulu dan orang bak cendikiawan jaman sekarang. Cendikiawan klasik begitu bebas mengarang dan membuat suatu karya tanpa harus belajar metode catatan kaki, footnote, atau pengganggu pandangan lainnya. Mereka hanya menyertakan nama, mengutip, lalu bebas menyertakan pendapat-pendapatnya yang baru. Hal yang justru berbanding terbalik di masa kini, yang mana setiap karya ilmiah harus ada catatan kaki dan tetek bengeknya, seakan-akan menghalangi proses kratifitas pemikir dan penulisa sehingga kadang mengganggu imajinasi. Konsekuensinya, zaman menjadi kaku, pikiran mandeg, dan lain hal lainnya yang menjadi virus para akademisi.
Satu contoh, kemarin, dalam artian Jawa, salah-satu teman saya berkonsultas mengenai prihal skripsinya yang mana menjadi tugas akhir mahasiswa S1. Untuk masalah menuangkan gagasan ke dalam tulisan yang terstruktur harus kuakui bahwa dialah pawangnya. Banyak pula kami belajar kepada dia dalam struktural kepenulisan. Hanya saja kejadian terjadi oleh salah satu dosen pembimbingnya yang memprotes bahwa karya tulisan yang dibuat oleh kawanku ini seperti orang sombong sebab banyak ide-ide yang baru namun tidak ditulis catatan kaki di bawahnya. Kawanku ini kemudian menjawab seadanya, bahwa itulah hasil pemikiran dia setelah membaca berbagai kitab dan buku lalu berkontemplasi sehingga menghasilkan suatu pemikiran yang menampar kemapanan pemahaman selama ini.
Hal ini mengindikasikan bahwa rupa S1 sebenarnya tidak dituntut untuk menemukan hal baru dalam dunia akademisi. Peringatan untuk mahasiswa tingkat ini cukup dengan kerapihan tulisan dan kesopanan catatan kaki. Dialektika panjangnya, kita seperti dilarang untuk melawan kemapanan pemikiran yang sudah ada.
Jangan heran bila masyarakat Indonesia hanya tahunya mengutip dan mengutip. Mulai saat ini, kita baru tersadar akan keberadaan kita yang terkurung dalam suatu kotak kaca, dimana kita bisa melihat dunia klasik yang lalu, dunia barat, eropa, dan Indonesia kekinian, tanpa bisa berbuat apa-apa. Iya, kita berada dalam suatu tanda kutip yang megunci kita dengan catatan kakinya sehingga meski punya kaki tapi tak bisa berlari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H