Mohon tunggu...
Barnawi Athar
Barnawi Athar Mohon Tunggu... -

pendidik & pedagang yang senang nulis-nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hoaks dan Aborsi Budaya

17 Maret 2019   16:05 Diperbarui: 17 Maret 2019   16:16 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hoaks menjadi kata yang sangat populer saat ini. Hampir setiap penduduk dunia dari semua lapisan usia mengenal istilah tersebut. Terlebih di tanah air, hoaks menjadi kata yang akrab di telinga kita. Hoaks seakan menjadi micin (penyedap rasa) berbagai peristiwa yang sepertinya berasa enak namun menyesatkan. Apalagi di tengah suhu politik yang memanas, hoaks diproduksi sebagai instrumen propaganda oleh berbagai pihak.

Hoaks merupakan kata yang menunjukkan sesuatu yang palsu, berupaya menipu, dan menggerus alam bawah sadar orang yang membaca atau mendengarnya sehingga berita bohong tersebut seolah-olah benar adanya. Hoaks serumpun dengan hyperrealitas di mana sesuatu yang salah seakan-akan menjadi benar karena secara massif disampaikan di ruang publik. Hoaks berasal dari kata hocus yang berarti menipu. Hoaks menjadi kata yang populer semenjak film The Hoax yang dibintangi Richard Gere yang tayang tahun 2006.

Produksi hoaks di Indonesia relatif tinggi, berdasarkan riset yang dilakukan oleh DailySocial bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform dengan responden sebanyak 2032 pengguna smartphone di berbagai penjuru  Indonesia  ditemukan bahwa; informasi hoaks paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%); sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks; dan mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoaks (Randi Eka, 2018).

Dalam konteks kehidupan bernegara, produksi hoaks dilakukan untuk mereduksi legitimasi pemerintah. Penelitian Chistiany Juditha dalam Jurnal Perekonomian, Vo. 3 No. 1 April 2018 dengan judul, " Interaksi Komunikasi Hoaks di Media Sosial serta Antisipasinya menyimpulkan bahwa interaksi komunikasi terbangun dengan sangat dinamis. Pengirim atau penerima pesan hoaks merupakan pihak yang tidak menyenangi pemerintah. Penerima pesan lainnya juga pihak yang tidak sepakat dan membantah hoax sebagai dukungan terhadap pemerintah, motif politik sangat kental dalam penyebaran hoaks dan ada orientasi menjatuhkan pemerintah.

Berbeda dengan Chistiany Juditha, Koordinator Masyarakat Indonesia Anti Hoaks Solo Raya, Niken Satyawati menyatakan bahwa motif utama produksi hoaks adalah motif ekonomi. Menurut Niken, penyebar hoaks mengejar jumlah "klik" agar mendulang iklan atau mengejar jumlah "like" sehingga akun potensial untuk dijual.

Maraknya berita bohong dengan berbagai motifnya menunjukkan bahwa masyarakat sedang "sakit" dan mengalami disorientasi hidup. Indikasinya adalah adanya upaya merengkuh jabatan, kekuasaan, dan ekonomi dengan cara yang tidak benar, penuh kebohongan dan kepalsuan. Penyebar hoaks mengesampingkan etika berkomunikasi dan menanggalkan akhlak demi ambisi dan syahwat keduniawian.

Hoaks memiliki dampak yang sangat destruktif. Dampak yang pertama adalah ketidakpercayaan masyarakat pada media. Masyarakat menjadi malas dan masa bodoh dengan berbagai berita sehingga secara langsung akan mengurangi literasi baca tulis masyarakat. Masyarat akan bergeser pada bacaan yang lebih menyenangkan seperti fashion, film, musik, dan olahraga. Tentu kondisi ini akan merugikan masyarakat karena daya literasi melemah sehingga daya saing menjadi rendah.

Hoaks juga akan memicu proxy war di mana masyarakat diadu domba secara terus menerus, setidaknya perang di dunia maya. Media virtual menjadi bahan saling hina, saling umpat, saling ejek yang jika tidak hati-hati membawa masyarakat terseret dalam persoalan hukum.

Hoaks juga akan merusak tatanan budaya yang melekat dalam diri bangsa Indonesia. Kejujuran menjadi kebohongan, kesederhanaan menjadi hedonisme, empati menjadi apatis, dan sederet dekadensi lainnya. Budaya hoaks akan meluluhlantakkan nilai-nilai kebangsaan. Hoaks mengaborsi budaya bangsa.

Begitu massifnya produksi hoaks tentu harus direduksi dan dihilangkan sehingga tidak membudaya. Chistiany Juditha (2018) menyatakan bahwa untuk mereduksi hoaks dapat dilakukan dengan pendekatan kelembagaan, teknologi, dan literasi. Pendekatan kelembagaan dengan memperbanyak komunitas anti hoaks, pendekatan teknologi dengan pengembangan alat pendeteksi hoaks, dan literasi dengan membangun wawasan kepada masyarakat tentang ancaman dan dampak  hoaks dalam berbagai satuan pendidikan.

Pendidikan keagamaan tentu menjadi pendekatan yang penting dilakukan sebab akan menjadi filter segala tindakan. Tanpa religiusitas yang tinggi maka niat untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks berpotensi terus ada. Penguatan religiusitas masyarakat mutlak diperlukan sebagai benteng budaya bangsa yang terakhir.

Barnawi (Pengawas Sekolah Madya Kemenag Kab. Cirebon)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun