Menyeduk hidangan kopi panas dan menbuka laptop untuk menyiapkan materi perkuliahan sebelum melangkah ke ruang kelas, sempat sesaat melirik headline berita di media sosial, bahwasanya Bapak Presiden kita, Prabowo Subianto menyampaikan penryataan pada pidato Hut 60 Partai Golkar pada tanggal 12 Desember 2024 “Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” dan “Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien seperti Malaysia. Bahkan juga India. Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih gubernur, walikota,”. Pilkada kita sudah selesai, selamat kepada pemenang, semoga menjalankan pemerintahan dengan penuh jawab, amanah, jujur dan yang kalah jangan berkecil hati, siapkan diri anda dan tim untuk dapat memenangkan pemilu 5 tahun selanjutnya, masih ada waktu untuk berbenah. Kembali pada pernyataan orang nomor 1 di Republik. Pernyataan ini menuai kontroversi, karena kita kembali kepada masa lalu atau mengadobsi pemilu jaman orde baru, yang mana dipilih melalui tangan-tangan para wakil rakyat. Diketahui ada benar pernyataan Pak Presiden kita ini bahwa Pemilu kita menelan biayanya sangat mahal tapi bukan hanya pada kontestasi Pilkada saja, Pileg dan Pilpres juga. Seperti kutipan dari detik.com Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkap calon kepala daerah yang ingin mengikuti pemilihan umum (pemilu) harus menyediakan modal yang banyak. Nilai itu disebut mulai dari puluhan hingga ratusan miliar, tergantung daerah pemilihan dan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengutip dari Kompas.com menyebutkan, korupsi politik di Indonesia terjadi salah satunya karena biaya politik yang mahal. Giri mengungkapkan, dalam satu gelaran pilkada saja, seorang calon kepala daerah dapat menghabiskan biaya sebesar Rp 20 miliar-Rp 100 miliar.
Walaupun sudah ada undang-undang 14 tahun 2024 tentang biaya kampanye tetapi aturan hanya teks book saja. Kenapa ? jika kita lihat secara eksplisit pasal-pasal pada undang-undang tersebut memberikan ruang yang tidak memiliki standar utuh, salah satu contohnya pasal 9 dana kampanye sumbangan dari perseorang paling banyak 75 juta dan badan hukum swasta paling banyak 750 juta. Artinya sederhana jikalau ada seseorang calon mendapat dukungan kurang dari 75-750 juta pasti akan kalah dengan seorang calon dapat dukungan anggaran 75-750 juta dengan karakteristik pemilih yang beragam terutama mayoritas pemilih irasional “ada uang ada suara” dan belum lagi ada dana kampanye yang tidak dilaporkan atau sengaja tidak dilaporkan.
Rangkaian fenomena ini menjadi dasar utama oleh Bapak Presiden RI mengharuskan pemilu putar balik dari biaya tinggi, money politik dan awal mula terjadinya korupsi.
Di kembalikan melalui pintu legistaif dan legistaif yang memilih kepala daerah, menjadi sebuah pertanyaan, apakah orang-orang memilihnya sudah berkompeten? Apakah nanti pemimpin yang terpilih sudah sesuai dengan kehendak rakyat karena bukan rakyat langsung memilih namun wakil rakyat, apakah politik transaksional tetap ada?
Menurut pengamatan saya, bahwa pemilu melalui pintu legilatif belum tentu orang-orang yang memilihnya berkompetensi dan berintegritas jika kita melihat masih banyak anggota legislatif yang terpilih bukan karena kompentensi dari pendidikan, pengalaman dan rekam jejak tapi sebaliknya Privilege, SDA (Sumber daya anggara) dan pendidikan jauh dari kata layak, mkecendrungan money politik atau politik balas budi dengan bagi-bagi proyek atau jabatan pasti akan terjadi namun fenomena ini hanya terjadi lingkungan legislatif. Idiom yang sering kita terdengar “tidak ada makan siang gratis”, ditegaskan dunia politik tidak ada yang gratis, buang air kecil, buang air besar dan meludah sajapun tidak ada yang gratis dan bisa memunculkan kepala daerah yang lahir dari oligarki partai politik sebab partai politik sebagai fondasi demokrasi negara Indonesia masih lemah, kelemahan ini dilihat bagaimana partai politik Indonesia dikuasai kelompok minoritas yang memiliki modal kuat di dalamnya yang disebut sebagai oligarki. Oligarki memiliki kekuasaan penuh secara politik dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Oligarki tidak terpengaruh dengan ideologi yang dianut suatu negara. Walaupun secara teori demokrasi bertentangan dengan oligarki namun pada kenyataanya justru tumbuh subur di negara yang menganut demokrasi. Bahkan, oligarki menjadi super power pada negara yang menganut sosialis (Matheus Bobby Adhie Nugroho, 2024). Artinya bahwa kepala daerah yang terpilih bisa saja dipilih atas rekomendasi kekuatan oligarki partai yang melalui wakil-wakil rakyat yang di lembaga legislatif sehingga loyalitas kepala daerah terpilih bukan kepada rakyat namun kepada oligarki atau wakil rakyat dan dapat menyebabkan kemunculan pemimpin “boneka” walaupun kita ketahui pemilihan langsung bisa juga memunculkan pemimpin boneka tapi masih bisa diatasi dengan mekanisme pilih oleh rakyat.
Perlu kita pemahami bersama bahwa pemilihan langsung masih banyak masalah yang perlu diperbaiki dan evaluasi kedepan sebab pemilu bukan hanya biaya yang dikeluar besar baik dari negara dan peserta pemilu tetapi mekanisme pemilu langsung serentak rumit diimplentasikan bagaimana bisa terlaksanakan “zero error” selama 12 jam orang bekerja di TPS dengan berhadapan 5 kotak suara, lembaran C hasil plano di dalam 1 kotak bisa mencapai 22-24 lembar paling banyak dan yang paling sedikit 4-5 lembar dan masalah pemilih mayoritas bukan pemilih yang rasional namun transaksional, bisa kita melihat dari tingkat pendidikan berdasarkan data yang dihimpun dari litbang kompas pada tahun 2021 bahwa tingkat pendidikan rata-rata pemilih di Indonesia 65% tamatan SMA dan databoks hanya 6% pemilih berpendidikan tinggi. Disamping ini kemiskinan juga menjadi sumber masalah dalam demokrasi menurut laporan Sebuah studi dari Journal of Southeast Asian Studies (2023) mengungkapkan bahwa 68% pemilih miskin lebih memilih kandidat yang memberikan insentif finansial, meskipun mereka tahu kandidat tersebut mungkin tidak memiliki kompetensi dan survei Indonesian Survey Institute (2024), 41% pemilih mengakui menerima uang atau barang dari kandidat.
Dari masalah fenomena ini menunjukan bahwasanya tingkat pendidikan dan status ekonomi mempengaruhi kualitas pemilih, apakah pemilih di negara konoha katanya sudah memiliki pengalaman, tingkat literasi dan kemampuan lainnya dalam menentukan pilihan yang dapat mempengaruhi keputusan hidup selama 5 tahun kedepan, jawabannya “belum tentu”. Maka dari itu demokrasi diperuntungkan untuk orang-orang kemampuan berakal sehat, rasional dan literasi dalam pengambilan keputusan hidupnya “one man one vote”. Baik ia profesor, doctor, pedagang, sudagar, mahasiswa, tukang becak, kuli bangunan, guru, dosen dan lainnya memiliki suara yang sama. Negara akan menuju kemunduran jika orang-orang didalam ruang demokrasi menjalankannya tidak memiliki kemampuan akal sehat. Sepertinya pernyataan seorang filsuf Yunani Plato, “Mengapa demokrasi yang dianggap, sistem terbaik dari yang ada, sering kali terjatuh pada kekeliruan yang sama?” Menurutnya, demokrasi bukanlah sistem yang ideal, namun sebuah sistem politik yang memberi jalan bagi tiran untuk berkuasa.
Sejalan dengan ini menurut Brennan, dalam bukunya Against Democracy, pengambilan keputusan bagi orang-orang atau kelompok tertentu adalah suatu keharusan untuk memperbaiki kualitas hasil pilihan. Jika kita ingin menghasilkan pemimpin yang baik, maka kita harus memastikan yang memilih adalah orang-orang yang tepat. Pemilih yang buruk akan memilih pemimpin yang buruk. Masyarakat yang korup cenderung memilih koruptor, dan seterusnya. Dan tak lupa dalam HR Bukhori “Jika urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuaran itu.”
Daftar isi
Matheus Bobby Adhie Nugroho, A. u. (2024). PROBLEMATIKA OLIGARKI DALAM PARTAI POLITIK YANG MEMICU LAHIRNYA. https://journal.unpak.ac.id/index.php/palar, https://doi.org/10.33751/palar.v10i2.