Pada kamis 14 November 2024 Mahkamah Kontitusi (MK) Mengeluarkan putusan Nomor 136/PUU-XII/2024 putusan secara isi memiliki makna bahwa "Setiap Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, Kepala Desa atau lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dipidana dengan penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 atau paling banyak Rp 6.000.000,00"
Tentunya putusan tersebut dikeluarkan atas dasar respon masyarakat atas penyakit Pemilihan Umum yang kita alami. Dengan adanya putusan ini diharapkan kronis penyakit Pemilu dapat diminalisir walaupun sulit untuk diatasi?
Perlu kita sadari bersama bahwasanya selama republik ini melaksanakan pemilihan umum tidak ada perbaikan dan perubahan nyata terhadap pesta demokrasi ini. Money politik sudah terang-terangan, ketidaknetralan dan keperpihakan pejabat di negeri terbuka, kecurangan hal lumrah, menjadi kebiasaan dan bahkan membudaya atau dibudidayakan. Kemarin kita sempat melihat Presiden Prabowo menyatakan dukungan langsung terhadap salah satu Paslon di Pilkada berbanding terbalik dengan pidato Nasionalisme yang membius sampai kita semua terbius dari omon-omon. Â Sebelumnya Mantan Presiden ke 7 Joko widodo yang diliput oleh media main stream terang-terangan menyatakan hak demokrasi, hak politik setiap orang. Hak Setiap menteri, presiden boleh memihak loh, presiden boleh berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara. Kemudian deklarasi kades mendukung salah satu paslon, peristiwa ketidaknetralan ASN dan pejabat negara lainya sangat mudah kita temui dengan mata telanjang dan dicari berita pada laman google di webside manapun. Disisi lain masih banyak pihak-pihak dan pejabat negara lain peduli terhadap wajah demokrasi peringatan demi peringatan KPU, Bawaslu dan LSM serta anggota legislatif. Peringatan dari mereka jelas bahwa ada penyakit kronis yang dialami demokrasi namun Peringatan hanya sia-sia jikalau tidak disertai dengan tindakan seperti peluru yang menembak angin sepoi-sepoi disaat terbitnya fajar.
Jika kita terlusuri secara mendalam mereka yang memiliki Pejabat Negara baik dari tingkat bawah ke tingkat pusat  mendukung paslon tidak lepas adanya kepentingan politik. Kepentingan tidak bisa dihindarkan seperti dalam buku mengenal teori-teori politik dari sistem politik sampai korupsi  yaitu tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku dan kelompok. Kemudian Menurut Aristoteles dari defenisi Politik adalah suatu upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki dan Hans Kelsen Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan. Tujuannya yang mereka inginkan tidak lepas dari karir, jabatan dan motif lainnya sehingga ada hubungan balas jasa "patron dan klien.
Dengan adanya putusan tersebut bukan hanya sebagai himbauan, peringatan dan ajakan kepada semua pejabat negeri ini sebagai aturan yang harus dilaksanakan sebagaimana semestinya sosialisasi pendidikan politik pentingnya kenetralan seharusnya tidak perlu dilakukan sadar tidak sadar bahwa seseorang abdi negara harus netral bukan hanya ucapan bibir yang manis tapi tindakan. Bukan hanya peringatan saja  dilakukan oleh pejabat untuk mengingatkan pejabat lainnya, tindakan tegas, keras tanpa pandang bulu walaupun konflik kepentingan terjadi yang menegakkan hukum sahabat dan karib dengan pelaku, perfesionalisme pekerja penting untuk menjaga krebilitas pribadi dan kelembagaan sehingga memberikan pengajaran kepada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H