Teknologi saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan primer, terlebih lagi teknologi informasi dan komunikasi. Kemajuan teknologi membuat masyarakat lebih mudah dalam berinteraksi dan memperoleh informasi. Dahulu, masyarakat terbatas pada penggunaan media massa seperti televisi, koran dan radio dalam memeroleh informasi. Namun dengan berkembangnya zaman, kini media sosial telah mengambil alih peran. Setiap orang diberi kebebasan untuk berkomunikasi. Perubahan ini membawa dampak yang besar. Meskipun setiap orang memiliki kebebasan dalam berkomunikasi di media sosial, kebebasan tersebut tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang salah satunya adalah meningkatnya fenomena hate speech atau ujaran kebencian.
Data statistik menunjukkan dalam empat tahun terakhir terdapat 8000 situs di Indonesia diindikasikan menyebarkan hate speech (Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, 2020). Â Hate speech merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan memprovokasi atau menghina orang berdasarkan berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, agama dan lain sebagainya. Di media sosial, fenomena hate speech semakin menjadi sorotan, banyak netizen menyebarkan konten yang kontroversial sehingga dapat menimbulkan penghinaan, pencemaran nama baik, bahkan penistaan agama di khalayak ramai.
Fenomena ini tentunya memiliki dampak yang serius bagi masyarakat, seperti memicu konflik antar kelompok, mengganggu kedamaian, bahkan menimbulkan perpecahan. Selain dampak sosial, hate speech juga berpotensi merusak kesehatan psikologis seseorang. Karena dari ujaran kebencian yang didapat akan mengganggu kondisi psikis individu, bahkan sampai mengalami depresi. Oleh karena itu, penanganan serius terhadap kasus ujaran kebencian menjadi penting untuk menjaga stabilitas sosial. Ujaran kebencian tidak hanya terjadi pada masa kini, jauh sebelum itu pada zaman nabi ujaran kebencian seringkali terjadi. Kaum Quraisy pada tahap awal Nabi berdakwah menyebarkan berbagai macam berita palsu dan fitnah tentang Nabi karena rasa benci yang dimiliki. Mereka menyebarkan kabar bahwa Nabi adalah tukang sihir yang memanipulasi orang dengan ilmu hitamnya. Ujaran kebencian ini bertujuan untuk menghancurkan reputasi dan otoritas Nabi di pandangan masyarakat. Namun respon Nabi terhadap ujaran kebencian sangatlah bijaksana. Nabi tetap menunjukkan kecerdasan emosional dalam menghadapi situasi tersebut di tengah situasi yang penuh dengan konflik di era digital saat ini, penting bagi individu untuk mengambil teladan dari sikap Nabi dalam menghadapi ujaran kebencian. Sikap pengendalian emosional merupakan landasan yang kuat dalam membangun masyarakat yang inklusif, toleran dan harmonis. Makalah ini akan membahas tentang bagaimana respon terhadap heet speech di era digital, tentunya berdasarkan kisah Nabi dan merujuk pada tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab.
Hate speech juga dikenal dengan istilah ujaran kebencian. Hate speech merupakan ucapan atau tulisan yang disebarkan secara publik dengan tujuan menyebarluaskan perasaan benci terhadap individu maupun kelompok tertentu. Ujaran kebencian bisa mencakup banyak hal, seperti ras, agama, gender, etnis, kecacatan dan lain sebagainya. Dalam konteks hukum, ujaran kebencian merujuk pada perkataan, perilaku, tulisan yang dilarang karena dapat mendorong tindakan kekerasan dan memicu prasangka buruk, baik dari segi pelaku maupun korban. Penyebaran hate speech atau ujaran kebencian di ranah digital semakin merajalela terutama yang terjadi di media sosial.
Hate speech tidak hanya mucul di media sosial, hate speech bisa muncul di berbagai platform, seperti media cetak, televisi, radio, forum, bahkan dalam percakapan sehari-hari. Namun, karena aksesibilitas media sosial relatif tinggi, maka seringkali hate speech menjadi lebih menonjol dan tersebar dengan lebih cepat di platform tersebut. Hate speech seringkali berkaitan dengan penyebaran berita palsu, dimana berita tersebut menghasut pembaca untuk memberikan berbagai macam jenis komentar. Penyebaran berita palsu dapat menyebabkan persepsi negatif terhadap suatu kelompok atau individu. Hal ini juga dapat memicu prasangka, kebencian, bahkan diskriminasi terhadap suatu kelompok.
Sebagai contoh kecil, terdapat komentar di media sosial yang menyebutkan bahwa suatu kelompok etnis adalah "penyebab utama terjadinya permasalahan ekonomi" tanpa ada bukti yang jelas. Komentar semacam itu akan memicu prasangka dan kebencian bagi suatu kelompok, Â serta merendahkan martabat mereka tanpa alasan yang valid. Menurut surat edaran kapolri nomor SE/6/X/2015 menegaskan bahwa hate speech termasuk kedalam perbuatan pidana yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan peraturan pidana lain di luar KUHP. Adapun yang termasuk kedalam bagian hate speech adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, menghasut dan penyebaran berita bohong. Semua istilah tersebut bertujuan untuk memicu diskriminasi, kekerasan, konflik sosial bahkan penghilangan nyawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H