oleh:
Moh. Baris Siregar*
*Penulis Merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Salah satu tonggak dari sebuah negara yang maju ialah dapat dilihat melalui produktifnya pemuda yang berada pada negara tesebut. Melalui pemuda yang terdidik juga dapat mempengaruhi berjalannya suatu negara menjadi lebih baik. Oleh karena itu, sudah barang tentu harus di optimalkan fasilitas yang mendukung untuk meningkatkan kemampuan diri para pemudanya.Â
Contoh saja dari hal pendidikan, Pendidikan sangat penting di era sekarang, yangmana serba modern dan digital seperti sekarang telah menjadi tuntutan zaman. Pun juga pada pendidikan politiknya, hal tesebut sepandangan juga dengan apa yang ada pada Muhammadiyah.Â
Muhammadiyah merupakan salah satu ormas islam tersbesar di Indonesia, sehingga melalui arah gerakannya juga dapat sedikit banyak mempengaruhi politik yang ada di indonesia. Banyak dari kader muhamamdyah yang menduduki kursi legislatif, eksekutif, dan jabatan penting lainnya, namun hal ini tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi politik. Akan tetapi Muhammdiyah menuntut untuk sadar politik, dan tidak ikut-ikutan dalam politik praktis. Dimana politik praktis akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dan berkepanjangan. Â
Lahirnya Muhammadiyah tidak untuk sebagai organisasi politik, akan tetapi hanya terbatas pada adanya nafas sebagai "gerakan politik", yang hal ini tentu saja tidak selalu hanya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Gerakan politik dapat terlihat melalui beberapa langkah yang dilakukan Kiai Dahlan sedari awal pembentukan Muhammadiyah dan kemudian memulai perkembangan relasi politik kebanyak pihak saat itu. Fungsi saat itu ialah untuk memperbesar hubungan relasi dengan organisasi lainnya.
Muhammadiyah telah tegas menyebutkan diri bukanlah  sebagai organisasi politik hal ini nyata dilakukan sejak tahun periode 1912-1926. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa guratan-guratan wajah politik Muhammadiyah tampak begitu nyata. Tercatat, KH. Ahmad Dahlan termasuk sosok yang sangat dekat dengan Budi Utomo, Sarekat Islam, dekat pula dengan KH. Misbah (Komunis), dan termasuk dekat dengan kalangan Ahmadiyah.Â
Banyak aktivis Muhammadiyah, termasuk KH. Ahmad Dahlan sendiri yang aktif di organisasi lain, baik Sarekat Islam maupun Budi Utomo. Pada periode selanjutnya, KH. Mas Mansur bahkan terlibat dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII). Pada Tanwir Muhammadiyah tahun 1938, Muhammadiyah memutuskan untuk mengijinkan KH. Mas Mansur --yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah-- menjadi pimpinan PII.
Oleh karena itu penulis menganggap disini peran pemuda Muhammadiyah dalam kancah politik nasional mempunyai pengaruh yang besar di Indonesia. Khususnya dalam melakukan penyadaran akan pentingnya pengetahuan atas politik. Melalui penyadaran politik diharapkan dapat memberikan pandangan kepada masyarakat untuk sadar politik. Politik disini tidak di tekankan pada politik praktis, karena akan mempunyai dampak buruk terhadap generasi mudanya.
 Tidak dapat di pungkiri terdapat beberapa kader muda muhammadiyah yang berada di kursi legislatif dan eksekutif. Namun, dalam hal ini dalam jabatannya tersebut tidak membawa nama gerakannya tersebut untuk menjaga profesionalitas jabatan yang ditempatinya. Konsistensi tersebut menjadi suatu nilai positif tehadap Muhammadiyah, karena darinya kader muda muhammadiyah yang menjabat di posisi penting tersebut menjadi panutan atas ke profesionalitasannya.