Demikian kesimpulan akhir dari sebuah diskusi ilmiah yang diadakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delft (PPI Delft) pada Rabu petang, 22 Oktober 2014 lalu di Central Library Technische Universiteit Delft (TU Delft), Belanda. Forum diskusi bulanan yang dikemas dalam acara Kolokium Pelajar Indonesia di Delft (KOPI Delft) kali ini menghadirkan dua pembicara tamu, yakni Prof. Dr.-Ing. Misri Gozan dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta dan Dr.-Ing. Makky S. Jaya dari SGS Horizon EP, Belanda. Dua alumnus universitas di Jerman ini berkenan hadir di sela-sela kesibukan masing-masing di Belanda untuk berdiskusi dengan para pelajar Indonesia di Kota Delft tentang perkembangan dunia riset dan inovasi di Indonesia dan Jerman.
Visi dan misi ristek Indonesia 2025 sudah bagus, hanya saja pelaksanaannya yang masih kurang.
Menurut Prof. Misri Gozan, Indonesia sebenarnya sudah mempunyai visi serta misi riset dan teknologi (ristek) yang cukup bagus. Sebagaimana yang ia kutip dari website resmi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek) Republik Indonesia, visi ristek Indonesia menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai kekuatan utama untuk mendukung peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan peradaban bangsa. Sementara itu, salah satu misi yang sedang dijalankan untuk mencapai visi tersebut adalah dengan menjadikan IPTEK sebagai landasan kebijakan pembangunan. Dengan demikian, jika pemerintah ingin membuat suatu kebijakan, maka unsur IPTEK dalam negeri harus dipertimbangkan. Dosen Teknik Kimia UI ini mengambil contoh pada pembangunan sumber energi terbarukan di tanah air. Sudah sewajarnya bila kebijakan tersebut ingin diterapkan oleh pemerintah, para ilmuwan Indonesia yang berkecimpung di bidang energi terbarukan beserta hasil-hasil risetnya harus dilibatkan sejak dari perancangan hingga pelaksanaannya. Sayangnya, kondisi semacam ini masih belum berjalan dengan baik di Indonesia. Tiadanya kerjasama lintas sektoral masih menjadi kendala dalam mewujudkan visi misi ristek ini. “Jangankan kerjasama antar kementrian, kerjasama lintas departemen dalam satu universitas saja masih sulit dilakukan,” imbuh doktor lulusan Technische Universitat Dresden, Jerman ini.
Selain itu, Prof. Misri juga menyebut bahwa para peneliti atau ilmuwan dari Indonesia sebenarnya tidak kalah hebat dibandingkan mereka yang dari luar negeri. Bahkan, prestasi mereka pun banyak yang dihargai di forum internasional. Meski demikian, jumlah peneliti Indonesia yang seperti ini tidaklah banyak, sehingga peran mereka beserta karyanya tidak berdampak sistemik pada peningkatan kualitas penelitian, kesejahteraan dan peradaban bangsa Indonesia. Saat ini, Indonesia juga mempunyai jumlah doktor yang cukup banyak, tetapi mereka tidak bekerja di tempat yang semestinya sebagai peneliti-peneliti yang tekun menjalankan aktivitas ilmiahnya secara benar di Indonesia. Inilah mengapa daya saing, angka publikasi ilmiah maupun paten dari Indonesia masih saja terpuruk di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia.
Meski demikian, Prof. Misri tetap optimis dengan adanya beberapa perbaikan di dunia riset dan pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu contoh adalah meningkatnya dana yang dianggarkan untuk penelitian di Indonesia, walaupun jumlah ini masih jauh dari takaran cukup, yakni hanya 0,08% dari APBN. Angka inipun masih lebih rendah dibanding nominal anggaran penelitian di Singapura (2,36%), Malaysia (0,63%) dan Thailand (0,25%).
Riset dan inovasi menjadi pilar utama yang menjaga kestabilan ekonomi Jerman
Sementara itu, Dr. Makky Jaya, yang sudah selama 17 tahun bekerja di beberapa universitas dan lembaga riset di Jerman, mengambil contoh Jerman sebagai negara yang berhasil mengelola riset dan inovasinya untuk menopang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya.
Doktor lulusan Universitat Karlsruhe ini berujar bahwa Jerman saat ini merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang mampu menunjukkan dampak riil hasil riset dan inovasinya terhadap kesejahteraan dan perekonomian negara tersebut. Hal ini tercermin dari tingginya angka Gross Domestic Product (GDP) Jerman yang masih saja bisa melampaui anggaran belanja risetnya yang juga besar. “Ini disebabkan bukan semata-mata karena kualitas sumber daya manusia (SDM) dan banyaknya uang yang ada di Jerman, namun karena efektivitas sistem inovasi yang diberlakukan pemerintah di negara tersebut,” imbuhnya.
[caption id="attachment_373145" align="aligncenter" width="586" caption="Prof. Misri Gozan (kiri atas), Dr.-Ing. Makky S. Jaya (kanan atas) dan peserta KOPI Delft (bawah) (Foto: dok. pribadi)"][/caption]
Pemerintah Jerman mempunyai kebijakan menyatukan riset dan inovasi dalam satu komponen. Pemerintah Jerman juga memanfaatkan jejaring antara universitas, lembaga penelitian dan industri sebagai pilar inovasi yang menyokong perekonomian negara tersebut. Sehingga, di antara universitas dan industri terdapat link and match, atau hubungan dan kesesuaian, yang membuat keduanya dapat berjalan selaras.
Lembaga riset juga berperan penting dalam sistem riset dan inovasi di Jerman, yakni sebagai mediator (intermediary) bagi universitas dan industri. Jika selama ini riset-riset yang dilakukan di universitas cenderung bersifat fundamental, maka sebaliknya, industri melakukan riset dan pengembangan di bidang-bidang yang bersifat aplikatif. Dua kutub ini dijembatani oleh lembaga riset. Dengan demikian, para ilmuwan di universitas menjadi bebas ‘bermain’ dengan riset dan proyeknya tanpa harus terganggu memikirkan aplikasinya. Di sinilah lembaga riset memainkan perannya untuk menterjemahkan hasil-hasil riset dasar tersebut ke dalam berbagai aplikasi. Di sisi lain, para peneliti di industri juga tidak lagi dipusingkan dengan ilmu-ilmu dasar, karena lembaga riset sudah menyiapkan berbagai hasil riset dasar yang memungkinkan dikembangkan dan diterapkan di industri. Dr. Makky memberikan contoh kesuksesan sistem riset dan inovasi Jerman ini pada beberapa produk yang dikembangkan di industri negara tersebut, seperti otomotif dan printer 3-dimensi.
Dengan sistem riset dan inovasi semacam itu, perekonomian Jerman menjadi cukup tangguh menahan gempuran krisis Eropa yang melanda sejak tahun 2008 silam. Bahkan, fakta unik justru terjadi di Jerman. Pada saat negara-negara di sekitarnya diliputi krisis, pertumbuhan ekonomi Jerman semakin baik dengan meningkatnya Gross Domestic Product (GDP) hingga 2%.
Menutup diskusi ini, baik Prof. Misri maupun Dr. Makky mengajak peserta diskusi untuk turut ambil bagian dalam memperbaiki riset dan inovasi di Indonesia. Secara khusus, Prof. Misri menghimbau para pelajar agar sesekali memandang keadaan Indonesia secara positif dan berperan aktif dalam menciptakan atmosfer yang mendukung untuk riset dan inovasi di Indonesia, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
“Mereka yang menjadi peneliti atau akademisi hendaknya tidak mudah putus asa dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat melakukan riset dan inovasi di Indonesia. Sedangkan mereka yang duduk di pemerintahan juga harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang tepat untuk perkembangan ristek Indonesia,” demikian kata-kata penutup dari Prof. Misri. Senada dengan Prof. Misri, Dr. Makky juga berujar bahwa besarnya dampak riset dan inovasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu bangsa dan negara tertumpu pada kebijakan diterapkan pemerintah. Cerita kesuksesan Jerman dalam membangun perekonomian berbasis sistem riset dan inovasi yang diterapkan mungkin bisa dijadikan referensi bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H