Mohon tunggu...
Barid Nizar
Barid Nizar Mohon Tunggu... Administrasi - Break Your Limit

belajar menulis, sambil ngopi tipis tipis... mencoba berbagi, walaupun hanya "sakndulit"...

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Flexing di Bulan Ramadhan

10 April 2023   13:11 Diperbarui: 11 April 2023   22:53 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Flexing atau sering disebut juga sebagai flaunting adalah tindakan memamerkan kekayaan dan kemewahan sebagai bentuk status sosial. Fenomena ini belakangan ini semakin marak di Indonesia, terutama di kalangan anak muda. Mereka rela membeli barang-barang mahal seperti mobil, tas, sepatu, gadget, dan lain sebagainya, hanya untuk dipamerkan di media sosial.

Fenomena flexing memang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Namun, di Indonesia, fenomena ini menjadi sangat populer di kalangan generasi millennial dan gen z. Mereka sering mengunggah foto dan video ke media sosial dengan caption yang menunjukkan kekayaan dan gaya hidup glamor.

Namun, ada juga yang menilai bahwa fenomena flexing ini adalah bentuk ekspresi diri dan kreativitas dalam berbusana. Beberapa selebriti, influencer, dan artis yang terkenal di Indonesia juga kerap melakukan flexing dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Namun, di balik fenomena flexing yang terkesan glamor dan menyenangkan ini, terdapat berbagai masalah sosial yang muncul, seperti ketimpangan sosial dan pengeluaran konsumsi yang berlebihan. Banyak dari mereka yang melakukan flexing tidak merasa puas hanya dengan membeli satu atau dua barang mewah, tetapi ingin terus membeli barang-barang mahal demi mempertahankan gaya hidupnya. Hal ini bisa menimbulkan masalah keuangan di masa depan.

Tidak hanya itu, fenomena flexing juga bisa menimbulkan rasa iri dan kesenjangan sosial di masyarakat. Banyak orang merasa inferior dan merasa perlu untuk menunjukkan kekayaan mereka sebagai bentuk status sosial yang diakui oleh orang lain. Hal ini bisa memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada di masyarakat.

Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh dengan berkah dan kebaikan. Dalam bulan yang suci ini, umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa sebagai bentuk pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Namun, belakangan ini, budaya flexing di bulan Ramadan juga semakin marak terjadi.

Budaya flexing pada bulan Ramadan biasanya berupa kegiatan memamerkan makanan dan minuman yang dikonsumsi saat berbuka puasa. Mereka sering mengunggah foto dan video ke media sosial dengan caption yang menunjukkan betapa lezat dan mewahnya hidangan buka puasa mereka. Hal ini terkadang membuat orang merasa iri dan menginginkan hidangan yang sama, bahkan jika itu berarti mengeluarkan uang yang lebih banyak.

Tidak hanya itu, budaya flexing juga terlihat dalam hal pakaian. Banyak orang yang rela membeli baju baru atau berpakaian mahal untuk menunjukkan status sosial mereka di bulan Ramadan. Ada juga yang membeli baju yang sama seperti artis atau selebriti untuk menunjukkan bahwa mereka juga bisa membeli barang yang sama dengan orang terkenal.

Namun, fenomena budaya flexing di bulan Ramadan sebenarnya bertentangan dengan esensi dari ibadah puasa itu sendiri. Puasa adalah bentuk pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT, bukan untuk memamerkan kekayaan dan kemewahan kepada orang lain. Selain itu, puasa juga mengajarkan kesederhanaan dan pengendalian diri dalam menghadapi godaan dunia.

Untuk menghindari budaya flexing  di bulan Ramadan, sebaiknya kita mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang nilai-nilai Islam yang sebenarnya, seperti keikhlasan, kerendahan hati, dan kesederhanaan. Kita juga bisa mengajak orang untuk berbagi hidangan berbuka puasa dengan orang-orang yang membutuhkan dan memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung. Hal ini akan membantu kita untuk kembali ke esensi dari ibadah puasa yang sebenarnya dan menjalani bulan Ramadan dengan lebih bermakna dan penuh berkah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun