Mohon tunggu...
Barid Nizar
Barid Nizar Mohon Tunggu... Administrasi - Break Your Limit

belajar menulis, sambil ngopi tipis tipis... mencoba berbagi, walaupun hanya "sakndulit"...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ida Dayak dan Fenomena Pengobatan Alternatif di Nganjuk

9 April 2023   10:07 Diperbarui: 9 April 2023   10:21 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengobatan yang diluar nalar selalu menarik untuk dibahas. Belakangan ini, masyarakat dihebohkan dengan fenomena Ida Dayak, seorang dukun yang konon mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang sulit diatasi dengan pengobatan medis modern. Video yang menyebar di media sosial bahkan mengklaim bahwa Ida Dayak dapat menyembuhkan pasien yang tuli dan bisu.

Indonesia memang memiliki kekayaan budaya yang beragam, termasuk praktik pengobatan tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, tidak semua praktik pengobatan tradisional memiliki landasan keilmuan yang kuat, seperti halnya praktik Ida Dayak.

Fenomena Ida Dayak menjadi sorotan karena dapat menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pengobatan alternatif yang dianggap lebih murah dan efektif dibandingkan pengobatan modern. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa praktik Ida Dayak juga menimbulkan kontroversi dan perdebatan di kalangan masyarakat dan tenaga medis.

Salah satu yang ingin penulis bahas adalah salah satu terapi yang populer dan diluar nalar di Kota Angin  (kota Nganjuk) Jawa Timur dimana pengobatan terapi saraf menggunakan media yang tidak biasa, yaitu kertas koran. Terapi ini dilakukan oleh Supriyono dan diyakini oleh banyak pasien sebagai cara yang efektif untuk menyembuhkan berbagai penyakit. 

Dalam terapi sentil koran, Supriyono menggunakan kertas koran yang dilipat menjadi segitiga untuk menekan jari-jari kaki pasien. Meskipun terlihat sederhana, pasien akan merasakan sakit yang hebat saat dilakukan terapi ini. Melalui rasa sakit yang dirasakan pada setiap sela jari kaki, Supriyono dapat mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh pasiennya. Terapi sentil koran ini menjadi sangat populer di masyarakat karena diyakini sebagai pengobatan alternatif yang efektif. Banyak pasien yang datang dari luar kota untuk menjalani terapi ini, dan berbagai macam penyakit seperti sakit lutut, kesulitan membengkokkan kaki, dan pengapuran tulang dapat disembuhkan melalui terapi ini. Supriyono mewarisi usaha terapi sentil koran dari kakeknya dan mulai menekuninya pada 1990-an. 

Setelah mengalami berbagai pengalaman di beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, pada tahun 2010, Supriyono membuka praktik di Kabupaten Nganjuk. Praktiknya menjadi sangat populer dan berhasil menarik puluhan pasien setiap hari. Namun, dampak dari pandemi Covid-19 menyebabkan pasien yang datang ke praktik Supriyono berkurang drastis. Sekarang, pasien yang datang hanya berasal dari wilayah Jawa Timur saja. Meskipun demikian, terapi sentil koran tetap menjadi alternatif yang menarik bagi banyak orang yang mencari pengobatan tradisional. Supriyono mengakui bahwa terapi sentil koran mungkin terlihat sederhana, namun teknik ini membutuhkan keahlian dan pengalaman yang cukup dalam mendeteksi penyakit pasien. Supriyono juga menyatakan bahwa terapi ini bukanlah pengobatan ajaib yang dapat menyembuhkan penyakit dalam waktu singkat, tetapi membutuhkan waktu dan kesabaran dari pasien. Bagi sebagian orang, terapi sentil koran mungkin terdengar aneh atau bahkan tidak masuk akal. Namun, untuk masyarakat Kota Angin dan sekitarnya, terapi ini telah menjadi pilihan alternatif yang efektif dalam mengatasi berbagai macam penyakit. Seiring berkembangnya zaman, tradisi dan praktik pengobatan tradisional seperti terapi sentil koran tetap menjadi bagian penting dari kekayaan budaya Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun