Pagi itu seperti biasanya, saya mengantarkan anak kami Prana berangkat sekolah. Dalam perjalanan, Prana berkata,”Pak, Prana kapan-kapan di jemput pakai mobil donk”. Sejurus kemudian saya pun mengatakan,” Bukannya sudah sering di jemput pakai mobil”. Prana balas menimbali,” Khan di jemput ibu bukan bapak”. Saya pun membalas sambil bertanya kembali,” Kenapa harus bapak?”. Prana menjawab,” Iya, teman-teman Prana ada yang ngomong, kamu punya mobil kok ngga pernah di jemput bapakmu?”. Saya pun terdiam dan kemudian menjawab sambil berjanji,” oke nak. Kapan-kapan bapak jemput”. Senyum pun mengembang.
Ceritanya dimulai saat jelang pencalegan istri, saya berharap sekali untuk dapat membeli mobil. Dan karena sudah 3 bulan dipikirkanternyata Alloh memberi jawaban, dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh mobil Peugeot 306 tahun 1999 yang dibeli dari kakak ipar. Mobil itu di bawa dari Jakarta oleh Om Edi dan beberapa hari setelah sampai di Purwokerto, maka saya minta istri yang belajar duluan. Dan semenjak itulah, sang istrilah yang sering membawa mobil. Dan hal yang cukup menakjubkan, seminggu setelah istri saya pertama kali belajar. Kami ke Jogja dengan istri yang menyupir.
Istri yang menyupir dan saya yang berada disampingnya - sambil bersendagurau dengan Prana dan Ayra yang bergantian duduk pangku dengan saya. Kejadian ini terus berlangsung sampai tulisan ini di buat. Ketika orang bertanya lho kenapa istri yang menyupir. Saya pun dengan enteng menjawab karena istri lah yang mempunyai kelebihan dalam menyupir ketimbang saya. Tapi mungkin bagi masyarakat yang patriarkial hal ini terasa aneh. Semoga ke depan, dengan semakin sadarnya masyarakat hal ini tidak terjadi lagi.
Karangsalam Baturaden, 21/8/2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H