Mohon tunggu...
barid nibras widyaningtias
barid nibras widyaningtias Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

pecinta atas dan bawah laut, mencoba melihat dengan kacamata lalat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serendah Mana Tingkat Kepedulianmu pada Negeri Ini, Indonesia

19 Januari 2014   12:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390106704256479704

Ada berapa mata yang manusia punya? Dua? Secara anatomi memang iya. Tapi coba sedikit ingat-ingat lagi, kita punya berapa mata? Dua untuk melihat, dua berada di kaki, dan satu ada di hati. Memang ada mata hati? Bagi saya, mata hati ini sulit saya gunakan ketika saya diliputi rasa marah, bahkan terlalu bahagia. Kenapa saya katakan emosi dapat menutup mata hati? Karena hanya perasaan lah sang pengambil keputusan.

Menyinggung sedikit pada hal sensitif, agama. Sesuai agama yang saya percaya, mengajarkan umatnya ketika manusia dilanda kebingungan untuk mengambil keputusan dari berbagai pilihan, atau terkadang diberi satu pilihan yang kurang berkenan. Ketika itu diperlukan penggunaan mata hati. Jika di agama saya dikatakan dengan ‘lakukanlah shalat istikharah’. Bagi saya shalat istikharah adalah salah satu cara membuka mata hati yang selama ini tertutup. Pernah satu masa ketika saya masih sekolah, saya dipaksa pindah ke sekolah negeri. Dimana sekolah saya sebelumnya adalah sekolah swasta yang sangat bernafaskan ilmu agama, fasilitas lengkap dari bak kamar mandi, hingga bak mandi dengan standar olimpiade, kolam renang maksudnya, hehe.. Dipaksa pindah ke sekolah negeri dengan toilet yang tidak ada siswi pernah masuk ke dalamnya, mengapa? Coba saja pikir sendiri, bentuk toilet mana yang tidak ingin sama sekali kamu masuki? Yap! Jorok. Kondisi itu sangat berbeda dengan sekolah saya sebelumnya. Eits, tapi tenang dulu. Ketika saya merasa menjadi manusia paling tidak beruntung, saya hanya bisa bersedih mengingat tawa canda teman-teman lama. Saat itu saya mengambil sikap untuk membuka mata hati saya. Saya melakukan shalat istikharah, hanya untuk meminta petunjuk-Nya tentang hidup saya yang tidak punya pilihan ketika itu. Saya lepas rasa sedih serta amarah. Mencoba berada di posisi se-netral mungkin. Dan voila! Akhirnya saya menemukan keputusan dan kekuatan penuh untuk menentukan bagaimana selanjutnya saya harus bersikap. Ya tentu saja saya tidak kembali ke sekolah lama, melainkan tetap lanjut di sekolah negeri dengan hati lebih suka cita. Semata-mata karena saya telah memahami dengan hati dan mengetahui dengan logika bahwasanya saya mengerti akan kondisi saat itu, bukan karena pasrah atau amarah.

Hal itu lah yang ingin saya sampaikan sekarang kepada teman-temanku tercinta dalam menyikapi kondisi negeri ini. Tidak seperti saya yang tidak punya pilihan untuk menentukan sekolah. Kalian masih punya kesempatan untuk memilih. Kalian memiliki kesempatan untuk sedikit berkontribusi untuk negeri ini. Terlepas diantara kalian ada yang tidak dilahirkan atau dibesarkan di negeri ini. Yang terpenting kalian lah yang mempunyai andil dan punya hak suara dalam memilih kondisi Indonesia berikutnya. Pilihan itu ada di tangan kalian. Keputusan yang kalian ambil adalah seberapa rendah kepedulianmu akan berdirinya Indonesia dimata dunia dan dimata rakyatnya. Jika kepedulianmu rendah dan apatis, silahkan saja tutup mata, kuping, hati, apapun itu untuk tidak berpikir di masa datang tentang kejadian yang ada di Indonesia. TAPI pesan saya satu. JANGAN MEMAKI ATAU BEREKELUH KESAH jika terjadi korupsi (dkk), berpindah tangannya kekayaan budaya seperti tarian, lagu (dkk), bahkan kepemilikan pulau kecil ke negara lain. KAMU SAMA SEKALI TIDAK BERHAK ATAS ITU! Kenapa? Kamu lah yang memilih untuk dipimpin orang-orang seperti itu. Karena saat adanya pesta rakyat (pemilu dan pilpres) kamu memilih untuk menutup anggota tubuhmu.

Sebelum terlambat, selama kamu masih punya pilihan. Silahkan berpesimis. Silahkan berapatis. Tapi itu untuk yang kemarin. Detik ini juga. Coba kamu rasakan dengan hati, siapa sekiranya orang yang cocok untuk memimpin negara ini. Dan coba kamu pikirkan dengan logikamu, apa jadinya jika orang itu yang memimpin bangsa ini. Jadi lah bangsa yang cerdas. Bangsa yang berkomitmen. Bangsa yang mengambil keputusan bukan karena keterpaksaan, bukan karena ikut-ikutan. Tetapi bangsa yang cerdas secara emosional dan intelektual dalam menyikapi segala hal. Termasuk pemimpin bangsa.

[caption id="attachment_290781" align="aligncenter" width="610" caption="siapa presiden kita berikutnya ?"][/caption]

Bagaimana cara menemukan sosok yang pas untuk dijadikan pemimpin ideal menurut saya.

1.Sekarang sudah era global, saya cari pemimpin yang dikenal oleh masyarakat tidak hanya dalam namun juga luar negeri. Jika sebelumnya Anda tidak mengenalnya, tidak apa-apa. Yang perlu dilakukan adalah mencari tahu, jika track record kehidupannya memiliki sejarah yang berkaitan dengan dunia luar, itu menjadi poin penting. Misalnya pernah studi di luar negeri, mendapat penghargaan berskala internasional, pernah bekerja atau beraktifitas di luar negeri, dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan dunia luar bukan hanya berwisata ke luar negeri. Mengapa? Berarti beliau sedikit banyak mengetahui kondisi luar secara langsung ataupun tidak, beliau pernah ‘studi banding’ dan berinteraksi dengan negara-negara luar. Diharapkan beliau tahu, solusi terbaik apa yang diperlukan untuk bangsa ini.

2.Pernah atau sedang berkutat dalam dunia pendidikan. Bagi saya ini satu faktor penting adalah pendidikan. Terlebih jika beliau tidak hanya berlatar belakang politik saja. Bagi saya, siapapun orang yang memilih sebagian hidupnya didedikasikan untuk pendidikan, itu berarti beliau tipe manusia yang masih memiliki sisi idealis. Berbeda dengan orang yang tidak menambah ilmunya dengan bersekolah, tetapi tiba-tiba masuk dunia politik. Sisi idealis tetap harus dimiliki seorang pemimpin, bukan untuk menyejahterakan diri. Saya tidak memilih pemimpin yang hanya kaya saja, sehingga bisa berkuliah tinggi dan di luar negeri. Saya akan memilih pemimpin yang memiliki pendidikan tinggi. Bukan hanya ijazah pendidikan tinggi dari universitas antah-brantah yang bisa dibeli. Pendidikan yang saya maksud adalah beliau pernah mengenyam dunia pendidikan, berarti ia pintar secara intelegensi. Apa kata dunia jika Indonesia punya pemimpin yang SD saja tidak lulus? Manusia akan memiliki derajat yang tinggi dimata Penciptanya adalah manusia yang berpendidikan. Bukan manusia yang kaya harta.

3.Agama. Memang agama menjadi isu sensitif bagi negeri ini. Padahal jelas kita punya dasar bhinneka tunggal ika. Kenapa sampai sekarang masih saja ada yang belum paham akan perbedaan ini. Bagi saya, pemimpin adalah orang yang tahu secara benar siapa Penciptanya. Siapa Pemimpin dari segala pemimpin. Pemimpin saya berikutnya harus memiliki emosional yang baik, intelektual yang tinggi, juga spiritual yang mendalam.

4.Peduli. Tidak hanya peduli dengan rakyat ketika ia mengajukan diri saja, tetapi juga yang telah dilakukan berupa berbagai aksi nyata, bahkan jauh-jauh hari sebelum ia menyatakan diri untuk maju sebagai kandidat pemimpin bangsa. Kepedulian bukan berarti bagi-bagi hadiah tiap hari. Atau sekadar wacana berteriak-teriak di televisi akan memajukan rakyat kecil dan bla-bla yang entah kapan realisasinya.

5.Tidak pamer, tidak narsis, tidak menjadikan uang sebagai senjata utama kampanye. Jujur saja, lelah rasanya setiap hari pemandangan mata ini dikotori dengan spanduk kampanye, baliho bergambarkan senyuman nyinyir, teriak-teriak di berbagai media. Aduh pak! Bu! Kok Cuma hanya pencintraan saja? Silahkan buktikan sekarang, bukan saat terpilih saja. Untuk apa kampanye menghambur-hamburkan uang bagi-bagi hadiah, ornamen kampanye. Suara rakyat itu tidak dibeli dengan motor, hp, uang, bahkan kaos saringan tahu. Kalian terlaaaluuu. Terlalu narsis. Terlalu kepedean untuk dipilih. Sudahlaah. Kalian bekerja sana! Kalian buktikan pada masyarakat. Sayang lah uang kalian terbuang tidak pada tempatnya. Silahkan menoleh ke 92 pulau terluar Indonesia. Tidak kah lebih baik uang kampanye digunakan untuk bangun bandara saja di Miangas, Maratua. Uang bapak-ibu digunakan untuk membangun toilet umum di Pulau Rote. Uang kampanye bapak-ibu dijadikan dana pembenahan atap dan lantai sekolah di Papua sana. Bukan untuk motor, hp, bahkan kaos saringan tahu. Menurut saya itu tidak mendidik.

6.Last but not least. Kenal Indonesia secara kaffah. Artinya, pemimpin Indonesia wajib kenal karakteristik Indonesia secara dalam. Untuk apa jadi pemimpin jika hanya kenal Jakarta saja, kenal Jogja saja, kenal Amerika saja, kenal Eropa saja. Pengetahuan akan kondisi dunia itu penting, bahkan di poin pertama telah saya tuliskan. Pemimpinku nanti adalah orang yang tahu kondisi rakyatnya, bahwa rakyatnya tidak hanya butuh di-blusuk-i setiap hari tetapi tetap banjir dsb, bahwa rakyatnya tidak hanya butuh pemimpin yang teriak-teriak saja, bukan pemimpin yang hanya melakukan pencintraan di berbagai media, bangga bahwa ia memiliki silsilah dari sosok nomor satu bangsa terdahulu, bukan pemimpin yang hanya bisa bagi-bagi motor dan membeli saham social media saja. Tetapi pemimpin yang bisa memberi seluruh hatinya, tangannya, pikirannya. Pemimpin yang kenal betul bagaimana kondisi Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Bagaimana kondisi Indonesia dengan negara tetangga dan dunia. Dan bagaimana solusi yang tepat untuk Indonesia saat ini.

Ya menurut saya itu sekelumit cara untuk memilih sosok paling cocok sebagai pemimpin bangsa ini. Saya tinggikan setinggi-tingginya standar untuk calon pemimpin. Jika ternyata kadidatnya tidak ada persis sama, setidaknya beberapa poin diatas. Tolong jangan ikut-ikutan saya, tetapi jika kamu secara kritis memang sepaham dan tahu alasannya untuk mengikuti, silahkan. Tetapi jika tidak, standar apa yang akan kamu gunakan?

Masih ada waktu untuk mengenali calon pemimpin. Apatis tidak diperlukan lagi sekarang. Walaupun kamu bukan aktivis kampus/sekolah, bukan pecinta politik. Untuk momen seperti ini saja, setidaknya kamu mau mengubah cara pikir itu. Informasi mudah didapat, dari koran, buku, terpenting internet. Kenali negeri mu. Cintai negeri mu. Kenali calon pemimpin mu selagi bisa.

Saya beberapa waktu lalu sangat apatis, pesimis dan tidak mau tahu akan pemilu atau pilpres atau apapun tentang politik dan hal yang berkaitan dengan pencoblosan. Tetapi sikap-sikap lucu kandidat-kandidat saat ini yang malah menimbulkan mata hait saya terbuka. Bahwa, silahkan saya atau kalian berpesimis ria, tapi rasa itu dijadikan tumbuhnya sikap optimis dalam kontribusi kecil membangun negara ini. Mau terus begini dalam lingkaran setan? Saya, jelas tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun