“Aku pikir seharunya aku tidak membaca novel itu, bedebah, dia membuat aku seolah-olah penjahatnya, kamu pikir dia siapa? Untung Shana tidak akan pernah membaca ini untuk selamanya….”
──0──
Kau datang dan mengoyak raga
Kau pergi dan meninggalkan lara
Sepi dan ramai seperti ini menganga luka..
Demikian kisah ini aku tulis untukmu
Shana
Tiada lagi cintaku tersiksa untuknya
──0──
Percakapan itulah yang membuatku terhenyak menatap bulu mata lentiknya yang lentik. Perempuan di depanku ini memiliki gaya magis saat berbicara, orang-orang tak akan mampu mendebatnya. Perempuan ini kemudian mendatangiku lewat gerak-gerik tubuhnya. Ia sahabat kentalku sejak kecil, aku, Marni, dan Shana adalah tiga sahabat yang saling mengisi. Aku tak bisa mengelak, mengendus bau nafasnya mendekat ia membisikkan sesuatu ke telingaku. “Maukah kau menyembunyikan novel ini dari Shana? Jangan sampai dia membacanya? Kisah ini terlalu berbahaya bisa membahayakan keseimbangan alam. Akan terjadi bencana dengan ketika kisah ini ia baca.”
Aku pikir Marni belebihan, tidak seharusnya ia menyembunyikan novel ini darinya. Aku terus saja melayani obrolannya. Seolah-olah ini adalah kisahnya. Bukan kisah Shana. Sekali lagi Marni membisikkan kalimat pengunci bibirku. Aku diam seribu bahasa. “Jangan sekali-kali kamu membacanya juga, sungguh kamu akan menyesal, kau juga akan terjerat tali setan itu, yang mengacaukan langkah-langkah dalam kehidupanmu”
Maafkan aku Shana….
Aku tidak bisa memihak pihak mana, aku hanya mengiyakan dan mengutuk diri sendiri karena telah membeli novel ini karena nama sang penulis yang begitu familiar dengan kehidupanku sebelum Shana rapuh menjadi seperti ini. Bagaskara Prasetya. Laki-laki yang menjadi kekasih Marni itu ternyata telah berhasil menceritakan beban hidupnya dalam sebuah novel, aku tidak tertarik membacanya, namun aku hanya ingin membelinya dan memberikannya kepada Marni.
Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan kisah novel itu, seperti ini:
“Bagas bagaimana kalau lusa menikah?” Marni merajuk di bawah pohon beringin.
“Aku tidak bisa…..” suara lirih terdengan menjawabnya.
“Tidakkah kau mencintaiku? Seperti kata-katamu kemarin?”
“Kau tahu kamu hanya simpananku, apa kamu tidak pernah paham?”
Bagas bergegas meninggalkan pohon beringin itu dan kelu.
Ini memang gila.
Bagas dan Marni memang berhubungan, itupun Marni yang gatal-gatal, perebut pacar seorang teman. Sebenarnya Bagas sudah memiliki Shana, Shana memutuskan sekolah di luar kota, semenjak itulah Marni dan Bagas menjadi semakin dekat, mereka masih satu kota, dan Bagas membutuhkan untuk didengarkan. Itu saja, semacam sampah yang akhirnya menjadi simbiosis yang menguntungkan untuk menobati kekosongan jauh yang tidak kasat mata. Omong kosong tentang cinta.
“Tunggu aku Bagasss!!!!!!!” ceritan perempuan di belakangnya tidak membuat Bagas berhenti langkahnya mantap meninggalkan bayangan yang menjadi sandaran hatinya.
“Bagas, tak ingikah kamu member tahu Shana dan menuturkan semua ini?” kalimat itu yang membuat Bagas berhenti dan menarik lengan Marni, berjalan menjauhi taman kota.
Setelah yakin berada semakin jauh dari taman kota, mata Bagas berkaca-kaca, model laki-laki yang tampak tak berdosa ini, mencoba membaca isi hati perempuan di depannya. Padahal ia kan tahu ia hanya simpanan….
“Shana tidak akan kenapa-kenapa di kotanya sekarang ia berada toh juga banyak laki-laki lain yang tidak kalah baik denganmu.”mata Marni mengerjap-ngerjap mencoba mencari pembenaran sendiri dalam setiap inchi kalimatnya. Padahal ponsel Bagas baru saja ada SMS masuk:
Aku merindukanmu.
Marni diam-diam menghapusnya. Seolah-olah Shana yang simpanan dan ia adalah segalanya.
Aku terlanjur meletakkan hati ini di hati yang tidak tepat di saat yang tepat
Bagas telah berusaha sekuat tenaga memikirkan jalan terbaik baginya, bagi Shana, dan terlebih Marni yang selalu ada buatnya saat Shana tidak ada. Seharusnya hatinya hanya untuk Shana, tapi dia tak kuat dengan cobaan itu. Jarak yang membentangkan antar Jakarta dan Sumatera. Sebab jarak itulah yang kemudian mengikis kekosongan wujud yang berubah menjadi sosok lain, Marni.
“Aku telah membuat kesalahan Marni.”
Tangan Marni semakin bergelayut manja di pundak Bagas.
Maafkan aku Shana, jangan membenciku setelah kau membaca kisah ini.
“Bagaimana caranya kita memberitahu Shana?”
“Kita harus pergi ke Sumatera, tidak boleh lewat SMS ataupun telepon.”
Padahal aku hanya ingin melihatmu untuk terakhir kalinya Shana.
Aku pikir cinta ini memang sebuah omong kosong belaka. Maafkan aku karena telah menulis kisah ini sedemikian rupa, hanya mengorek dalam lukamu yang belum sembuh, dan lukaku yang menyianyiakan kesetiaanmu, salahku, ini semua salahku, tapi apa salahnya aku ingin melihat wajahmu untuk terakhir kalinya?
“Shana besok akan pulang Gas, ia ingin membuat kejutan untukmu, ia menyembunyikannya darimu, tapi ia memberi tahu kami, para sahabatnya…” mata Marni menerawang senja yang bergejolak di hadapannya.
Shana, seharusnya kamu tidak usah pulang, biarkan aku yang menjemputmu.
“Kenapa kita harus sembunyi-sembunyi? Kau kan juga mencintaiku.”
Dasar simpanan!!!
“Sudahlah, aku sudah berhutang budi banyak kepadamu, jangan libatkan Shana lagi dalam hubungan kita.” Bagas itu memutuskan untuk memberi tahu Shana. Ah, hal buruk akan terjadi dalam kisah ini.
Gigi gerahan Bagas semakin mengeras, ia menyumpahi dirinya sendiri, tega sekali ia menghianati rasa yang ia miliki. Sumpah serapah dalam hatinya bergema bertalu-talu.
──0──
Hari berlalu dengan cepat, kehadiran Shana sudah dinanti-nanti. Sore yang berjingkat merambah langit Jakarta. Shana sudah tiba di tempat kelahirannya, untuk bertemu dengan kekasih yang telah lama ia tinggalkan.
──0──
Pukul enam petang mataku berdenyut-denyut, kepalaku berkunang-kunang aku meringkuk di dalam kamar, aku dekapkan tanganku dalam kedua kakiku yang aku tekuk, kepulanan Shana ke Jakarta tak akan pernah terjadi dalam keadaan sehat. Aku pikir aku sebagai sahabatnya harus gembira menyambut kedatangnnya di Bandara. Yang aku lihat bukan Shana yang dulu aku kenal.
“Shana kenapa kau meninggalkan bangkai cinta yang terlanjur aku patahkan, dan aku memang bodoh, Shana. Aku tidak bisa membiarkanmu terbujur kaku seperti ini.” Kata Bagas kekasihmu itu Shana, dalam kisahnya.
Tak aku sangka Marni menyematkan ini ke dalam endorsement yang baru sempat aku baca.
“Maafkan aku Shana, apa kamu sekarang membenciku karena merebut hatimu lewat sebuah rasa? Aku pikir kamu meninggal dalam sebuah epik tanda tanya. Padahal pada hari itu kami sudah berniat mengungkapnya, rasa-rasa yang telah menjadi potongan kinipun ikut terkubur dalam tubuhmu yang telah menjadi jasad.”
Tenanglah Shana, pergilah dengan tenang dan jangan kau hiraukan statusmu yang belum menikah, sedangkan kau belum dan tak akan pernah mengetahui kisah cinta kekasihmu itu, maafkan aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H