Mohon tunggu...
Sanjani
Sanjani Mohon Tunggu... Pemadam Kebakaran - Mahasiswa

Art

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sensasi Indonesia vs Pemajuan Kebudayaan

21 September 2024   13:32 Diperbarui: 21 September 2024   23:49 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambahttps://mediaindonesia.com/opini/698639/sensasi-indonengslish-vs-pemajuan-kebudayaan

Esai ini membahas tentang fenomena Bahasa Indonesia inggris, sebuah istilah yang mengacu pada gabungan bahasa Indonesia dan Inggris, serta dampaknya terhadap bahasa Indonesia sebagai identitas budaya. Melalui lawak Saut Situmorang tentang sulitnya menemukan "ayam goreng" di  semakin populernya istilah "fried chicken", penulis menggambarkan sebuah situasi ironis di mana bahasa Indonesia semakin terpinggirkan. Pernyataan ini membuka pintu refleksi tentang bagaimana istilah-istilah asing mendominasi percakapan sehari-hari, khususnya di kalangan anak muda, dan menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, seperti di jaksel hampir semua kalangan mengunakan bahasa indonenglis ini. namun juga meluas ke berbagai kelas masyarakat.

Esai ini unik dan menarik karena kemampuannya menghubungkan fenomena linguistik dengan konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Penulis tidak hanya memaparkan fakta mengenai perubahan bahasa, namun juga menelusuri penyebab yang melatarbelakanginya, khususnya dalam konteks sejarah kolonialisme. Konsep "pikiran yang tertawan" yang diperkenalkan oleh Syed Hussein Alatas merupakan inti dari esai ini. Istilah ini menggambarkan keadaan di mana masyarakat tidak menyadari dampak negatif dominasi budaya asing sehingga membuat mereka merasa rendah diri terhadap bahasa dan budayanya sendiri. Penulis mengajak kita untuk merenungkan bagaimana situasi ini mempengaruhi cara masyarakat memandang bahasa nasional.

Dalam konteks kosa kata dan terminologi, saya mengenal istilah bahasa Indonesia dan dampaknya terhadap bahasa Indonesia. Namun, memahami "captive mind" dan hubungannya dengan penggunaan bahasa di masyarakat adalah hal baru dan membuka perspektif yang lebih dalam. Penjelasan penulis tentang bagaimana praktik pencampuran bahasa ini berkembang, didukung oleh media sosial dan periklanan, menggambarkan dinamika menarik dalam hubungan antar generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya sekedar alat komunikasi tetapi juga merupakan cerminan identitas dan nilai-nilai budaya.

Kritik saya terhadap esai ini adalah perlunya menekankan solusi spesifik untuk mengatasi permasalahan yang diangkat. Meskipun penulis menekankan pentingnya program Merdeka Belajar dan peran pemerintah dalam melestarikan bahasa Indonesia, namun akan sangat membantu jika esai ini dapat memberikan contoh yang lebih kongkrit mengenai langkah-langkah yang dapat diambil oleh masyarakat dan lembaga pendidikan. Misalnya membentuk komunitas yang aktif menggalakkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau mengembangkan kurikulum yang lebih fokus pada pengajaran bahasa nasional di sekolah.

Selain itu, esai ini bisa lebih berimbang dalam memberikan pandangan positif terhadap penggunaan bahasa campuran dalam konteks tertentu. Penggunaan bahasa Indonesia tidak selalu berkonotasi negatif; Dalam beberapa situasi, hal ini bisa menjadi bentuk kreativitas dan adaptasi. Misalnya dalam dunia seni dan budaya, penggunaan bahasa campuran seringkali menghasilkan karya yang kreatif dan menarik. Mengatasi aspek ini dapat memberikan perspektif yang lebih luas mengenai fenomena tersebut.

Namun secara keseluruhan, esai ini berhasil memberikan wawasan tentang pentingnya menjaga identitas linguistik dan budaya dalam menghadapi globalisasi yang semakin meningkat. Penulis mengajak kita untuk merenungkan peran kita sebagai warga negara dalam melestarikan bahasa Indonesia yang merupakan alat komunikasi dan lambang jati diri bangsa. Sebagai warga negara, kita harus berkomitmen untuk menghormati dan menggunakan bahasa kita dengan baik, serta mendidik generasi mendatang akan pentingnya bahasa dan budaya kita sendiri.

Dengan mendidik diri sendiri dan orang lain tentang nilai-nilai bahasa dan budaya, kita dapat membantu bahasa Indonesia tetap hidup dan relevan seiring berjalannya waktu. Hal ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau pendidik, namun juga menjadi tanggung jawab setiap individu dalam masyarakat. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak hanya akan bertahan tetapi juga berkembang dalam bentuk yang mampu menjawab tantangan zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun