Mohon tunggu...
Landy Abdurrahman
Landy Abdurrahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I'm not a good guy, just a good luck

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Misterius di Bangunan Keramat

5 Desember 2011   14:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamis siang di musim dingin, tumpukan debu masih melekat erat menghias dinding-dinding kokoh benteng kota tua itu; Kairo Fatimiyyah. Dan gerbang itu menyambut lagi, tapi kali ini dengan berjubel orang dengan berbagai perangai dan perangkatnya, sedikit kesan yang berbeda; masih lebih romantis kala itu. Setapak selangkah di Jalan Muiz Liddinillah ini selalu membawa kesan yang berbeda, dingin, kokoh, dan eksotik. Tapi bukan jalan itu alasan siang itu, sebuah bangunan keramat yang mengokoh di permulaan jalan ini lah alasannya; Masjid Al-Hakim Bi Amrillah. Hijau, menyejuk merindang, menyambut setapak sebelum memasukinya. Mungkin orang berpikir suasana hijau ini romantis, tapi ternyata ini belum seberapa. Ukiran-ukiran indah di gerbang masjid ini pun tetap tegas dan lugas menjelaskan keperkasaan jiwa para pembangunnya. Lalu selangkah memasuki masjid keramat ini, sekhas bangunan masjid yang laris, penjaga penitipan alas kaki pun menjawab salam, meski salam itu terucap untuk seluruh bangunan kokoh masjid ini. Satu hal yang menambah cita rasa romantis saat itu, suasana keramat; sesaji doa dan mantra penganut Syi’ah. Sebagai peninggalan resmi pemimpin yang menganut Syi’ah, ungkapan cinta, puja-puji serta doa (untuk yang dicinta dan dirindu - menurut paham Syi'ah)  menjadi penghias alunan angin sepoi yang berhembus di sela-sela 4 ruwaq (ruang) di masjid ini. Bahkan dengan atas nama cinta, air dari sumur yang terletak di bangunan keramat ini pun mengalahkan popularitas air zam-zam. Cukup keramat, bukan mistis. Lalu sinar hangat, angin musim dingin, dan lantai marmer sebujur luas pelataran masjid ini pun berpadu; menghangat. Lalu samar melambai di sudut sana, sesosok gadis dengan senyum hangat. Menghangat meski musim dingin kali ini cukup mendinginkan tiap tetesan air di kota ini, tak terkecuali air dari tempat wudlu di tengah pelataran yang luas dan hangat ini. Dan dari situ, semakin terlihat lambaian senyum itu, hingga dengan sederhananya, tetesan air tempat wudlu itu menyejuk, bahkan menghangat. Ah, seandainya saja dia berdiri di bawah lentera masjid ini yang sudah berwarna usang itu, pasti kuning mengkilap lentera-lentera itu akan kembali ceria. Dan memang benar,  bukan karena cantik, tapi begitu menarik. Ruwaq kiblat; titik pusat romantisme dan kekeramatan bangunan ini. Romantisme antara pujian-doa pada sang pujaan dan cinta-mesra pada Sang Pencipta. Dan di salah satu sela antar dinding di ruang yang berhampar karpet hijau itu, dipilih oleh segerombolan orang untuk belajar tentang roman dan romantisme; merangkai kemesraan dengan kata. Tapi lagi, bukan itu, di pojok ruang itu, senyum gadis misterius itu kembali mengerling. Dan tatap matanya yang khas dan tegas mencuri pandang; terlalu sulit untuk mengartikannya. Jelang senja. Sesosok tua keluar menghampiri pelataran luas masjid ini. Memanggil dengan begitu mesra para penghuni bangunan keramat ini; sekelompok merpati. Terbang dengan riang, lalu menghampiri Pak Tua itu dengan semangat, mencicipi hidangan sore yang begitu nikmat. Lalu langit sore kota tua yang khas ini terlihat begitu indah, entah itu karena senyum gadis itu, atau memang mengindah karena romantisme masjid ini. Yang jelas, berpadu dengan dua menara khas jaman Fatimiyyah, menjadi objek yang cukup menggoda untuk mengabadikannya dalam bingkai foto. Dan dari ujung lensa kamera itu kembali terlihat, sesosok gadis itu lagi, berkelibat, tak kalah menggoda. Tiba-tiba merpati riang itu kembali terbang dengan riang, merayakan sore yang romantis. Tapi dengan itu, bayangan sesosok gadis misterius itu juga turut terhembus bersama angin sore, bersama merpati masjid ini. Menyadarkan dari lelamunan sejenak yang terus-menerus membayang. Ah seandainya, dan seandainya. Hanya pengandaian, lalu harap, buah lamunan. Dan mungkin, berharap lalu tak jumpa lah yang membuat tulisan ini terurai malam ini. Dari lamunan itu, gadis misterius di bangunan keramat, Masjid Al-Hakim Bi Amrillah, kampung Gamalea, Kairo Fatimiyyah. -I don’t know, how or why I feel different in your eyes – Musim dingin, 2011. Landy T. Abdurrahman Seorang pinggiran

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun