Pada tahun 2012, Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengesahkan Resolusi 65.6 yang berisi rencana implementasi komprehensif untuk meningkatkan gizi ibu, bayi, dan anak kecil. Rencana ini menetapkan enam target global yang ambisius untuk dicapai pada tahun 2025. Di antaranya adalah pengurangan 40% jumlah anak di bawah usia lima tahun yang mengalami stunting, pengurangan 50% anemia pada perempuan usia reproduktif, dan peningkatan angka pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan hingga setidaknya 50%.
Namun, meskipun target-target ini telah dicanangkan lebih dari satu dekade lalu, kemajuan global menuju pencapaiannya masih jauh dari harapan. Data terkini menunjukkan bahwa dunia tidak berada di jalur yang benar untuk memenuhi keenam target tersebut pada tahun 2025. Misalnya, prevalensi stunting pada anak di bawah lima tahun diproyeksikan mencapai 128 juta pada tahun 2025, sementara targetnya adalah 100 juta. Angka anemia pada wanita usia reproduktif juga masih sangat tinggi, berada di 29,4%, jauh dari target 14,7%.
Ketidakmampuan untuk memenuhi target-target ini bukan hanya sebuah kegagalan dalam implementasi kebijakan, tetapi juga mencerminkan tantangan sistemik yang dihadapi oleh berbagai negara di seluruh dunia. Tantangan-tantangan ini berkisar dari kurangnya sumber daya, hambatan politik, hingga minimnya kesadaran publik mengenai pentingnya gizi yang baik. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami konteks lebih luas di balik kesenjangan ini dan mencari solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Salah satu alasan utama mengapa banyak negara kesulitan mencapai target ini adalah kurangnya sumber daya yang memadai. Sumber daya yang dibutuhkan untuk memobilisasi upaya pengurangan stunting, anemia, dan masalah gizi lainnya sering kali tidak mencukupi. Banyak negara, terutama negara-negara berkembang, masih berjuang dengan alokasi anggaran yang terbatas, di mana gizi sering kali bukan menjadi prioritas utama dalam anggaran kesehatan mereka. Hal ini menyebabkan program-program yang ada tidak dapat diimplementasikan dengan skala dan intensitas yang diperlukan untuk menghasilkan dampak yang signifikan.
Selain itu, hambatan politik juga menjadi faktor penghambat. Implementasi kebijakan gizi sering kali memerlukan kerjasama lintas sektoral, termasuk kesehatan, pertanian, pendidikan, dan ekonomi. Namun, koordinasi antar sektor sering kali kurang efektif, dengan setiap sektor bekerja secara terpisah tanpa adanya integrasi yang kuat. Ini menyebabkan inisiatif yang tumpang tindih dan pemborosan sumber daya yang berharga. Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, kepentingan politik dan ekonomi dapat mengesampingkan kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah gizi, sehingga upaya untuk mencapai target global terhambat.
Kesadaran publik juga memainkan peran penting dalam upaya meningkatkan gizi. Misalnya, meskipun manfaat pemberian ASI eksklusif telah lama dikenal, kurang dari 40% bayi di seluruh dunia yang mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan mereka. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya edukasi yang memadai kepada masyarakat tentang pentingnya ASI dan tekanan sosial yang sering kali menghalangi ibu untuk menyusui eksklusif. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan edukasi publik menjadi kunci untuk mendorong perubahan perilaku yang diperlukan untuk mencapai target gizi global.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik. Pertama, negara-negara perlu meningkatkan investasi dalam program gizi dan memastikan bahwa gizi menjadi prioritas dalam anggaran kesehatan mereka. Selain itu, koordinasi antar sektor harus diperkuat untuk memastikan bahwa upaya gizi dilakukan secara terpadu dan efektif. Ini memerlukan kerjasama yang erat antara pemerintah, organisasi internasional, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Kedua, penting untuk membangun kemitraan yang kuat antara negara-negara dan donor internasional untuk memastikan bahwa sumber daya yang dibutuhkan tersedia dan disalurkan secara tepat. Donor internasional, seperti organisasi non-pemerintah dan filantropi, memiliki peran penting dalam mendukung upaya ini, baik melalui bantuan keuangan maupun teknis.
Terakhir, edukasi dan kampanye kesadaran publik harus menjadi prioritas untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat terkait gizi. Ini termasuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pemberian ASI eksklusif, diet seimbang, dan pentingnya nutrisi dalam 1000 hari pertama kehidupan.
Sebagai kesimpulan, meskipun tantangan menuju pencapaian target gizi global 2025 sangat besar, bukan berarti hal ini mustahil. Dengan komitmen politik yang kuat, alokasi sumber daya yang memadai, kerjasama lintas sektoral, dan kesadaran publik yang tinggi, kita dapat membuat kemajuan signifikan dalam meningkatkan gizi ibu, bayi, dan anak kecil di seluruh dunia. Upaya ini tidak hanya akan membantu mencapai target-target gizi global, tetapi juga akan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H