Tidak ada keraguan lagi bahwa di antara sebab kehancuran berbagai peradaban adalah kemerosotan moral. Pada poin ini saya tidak ingin berbicara panjang lebar sebab saya sedang menyiapkan tulisan panjang yang membahas pengaruh kemerosotan moral terhadap kehancuran berbagai peradaban di masa dahulu maupun sekarang.
Cukuplah saya nyatakan bahwa demokrasi Barat yang bejat itu sebenarnya telah membawa benih-benih kerusakan dan kebejatan moral. Kenyataan yang ada adalah bukti yang paling jelas untuk itu. Jika tidak demikian, bagaimana kita bisa menafsirkan mengapa para pemuda dan masyarakat umum di Eropa menerima kehadiran narkoba dengan berbagai jenisnya. Bagaimana pula kita bisa menafsirkan tenggelamnya mereka dalam kebejatan perilaku seksual yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia yang panjang.
Lihatlah bagaimana parlemen Inggris amerika dan 25 negara barat lain telah membolehkan pernikahan sesama lelaki dan juga pernikahan sesama perempuan. Pernikahan dengan sesama kerabat dekat/mahram (incest) juga banyak terjadi sampai tak terhitung lagi. Untuk konteks Indonesia, lihatlah bagaimana pemerintah seakan bisu pada pernikahaan kaum homo di bali. Budaya ketimuran sudah di gilas dan syariah sudah di hempas. Semua ini dilakukan dengan kedok kebebasan individu yang absolut.
Jelaslah bahwa demokrasi adalah jalan menuju kebejatan moral. Jika tidak demikian, bagaimana pula kita bisa menafsirkan tersebarnya majalah-majalah porno, pergaulan bebas, kekerasan seksual, dan pemerkosaan. Apakah Indonesia mau terperosok ke jurang kebejatan moral seperti yang dialami Eropa atas nama pluralisme demokrasi ini ? Yang jelas, kita semua sudah sampai pada suatu masa kehancuran moral yang sulit dilukiskan lagi. Dan kita tak akan dapat kembali kepada kebaikan moral kecuali dengan segera melakukan taubat nasuha serta memotong benih-benih dan sebab-sebab kerusakan, seperti pergaulan pria-wanita yang campur aduk (ikhtilath), film-film selera rendah, lagu-lagu seronok, majalah-majalah cabul, dan karya-karya sastra bejat yang dapat kita sebut sebagai sastra “ranjang”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H