Seorang teman membawakan kami beberapa bungkus kopi pasar plus seperempat kiloan kopi -buatan ibunya mungkin-dari kampung halamannya di Palembang.Kebetulan rata-rata teman di proyek banyak yang suka ngopi.Karena sudah 'kebelet' mulailah saya menyeduh kopi 'kampung' tadi tanpa perlu membaca mereknya yang dibungkus plastik sederhana.
Saya tadinya berpikir rasanya mungkin agak mendekati rasa kopi pabrikan yang biasa kita minum di kantor.Atau kalau beruntung bisa lebih enak dari kopi Lampung atau Aceh yang biasa kita dengar dari cerita teman yang pernah mencoba.Ternyata tidak.Rasanya persis seperti kopi buatan nenek saya yang biasanya dicampur beberapa genggam beras dan irisan kelapa.Warnanya hitam pekat,lebih pahit dari kopi pabrik,dan mengambang di gelas.
Iseng-iseng saya lihat bungkus kopinya yang bersablon kuning,saya baca; KOPI cap ...,ada gambarnya terus dibawahnya tertulis; Komposisi: Kopi 50% Jagung 50%.Oalah,saya dan teman di depan meja saling memandang lalu sama-sama tersenyum."Pantes rasane gak ngalor gak ngidul"katanya,alias tidak jelas.Ini kopi rasa jagung atau jagung tumbuk rasa kopi?
Lucu sekaligus mengesankan.Lucu bagi saya,karena saya tidak bisa membedakan lagi apakah produsennya ini jujur atau bodoh.Meskipun saya juga tidak yakin 100% kalau kopi yang biasa saya minum juga kopi murni.Dan saya bisa jadi sering dibodohi sesering saya minum kopi itu.Tapi mencantumkan bahan campuran yang dianggap justru menjatuhkan imej di kalangan konsumen yang menuntut keorisinilan rasa bukanlah sebuah hal yang lazim dalam sebuah produk.Apalagi saya juga pernah benar-benar menemukan rasa jagung sebagai campuran kopi,tetapi si produsen tetap saja pede dengan mencantumkan 100% kopi asli.
Tetapi bagaimanapun juga saya salut,karena setidaknya kopi kampung ini mengingatkan saya akan sebuah nilai kejujuran yang meskipun beresiko tetapi nyatanya selalu menempatkan posisinya pada tempat yang tidak pernah diisi oleh kepalsuan yang dibungkus dengan cap kemurnian.Kejujuran si jagung adalah kemurnian yang sesungguhnya.Tanpa malu menyatakan dirinya mengandung ini dan itu justru menandakan kebesaran jiwa bahwa inilah saya sesungguhnya,demikian kira-kira.Seolah menyatakan kalau mau yang 50-50 silakan pilih saya,kalau yang 100 ya pilih sana.
Kekurangan bukan aib yang perlu ditutupi,karena aib juga tidak boleh dibuka.Kejujuran justru menjauhkan dari aib karena kepura-puraan adalah aib yang sebenarnya.Tidak perlu mengaku 100% kopi kalau ternyata masih terasa jagungnya.Tetapi tetaplah bangga kalau ternyata 100% jagung ternyata terasa kopi.Artinya sesuatu yang tadinya dianggap sebagai kekurangan,pelengkap atau sekedar kamuflase bisa jadi diubah menjadi sesuatu yang lebih bernilai.
Sehingga teman kerja saya tadi tak perlu lagi meniru iklan tivi untuk menyindir kopi campuran dengan berkata,"Passs...jagungnya!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H