Rev. Sykes : Miss Jean Louise. Miss Jean Louise. Stand up. Your father's passing. Itulah kalimat yang diucapkan salah seorang pendeta kulit hitam untuk mengajak Jean Louise 'Scout' Finch (Mary Badham) berdiri. Scout adalah seorang gadis tomboy berumur 6 tahun, putri dari pengacara Atticus Finch (Gregory Peck). Saat itu Atticus baru saja menjalankan tugasnya, membela seorang warga kulit hitam Tom Robinson (Brock Peters), yang dituduh memerkosa wanita kulit putih Mayella Violet Ewell (Collin Wilcox). Ajakan pendeta itu dimaksudkan untuk menghormati apa yang telah diperjuangkan sang ayah dalam membela kebenaran di pengadilan. Sebuah momen yang menggetarkan dalam film ini, saat seluruh warga kulit hitam yang menghadiri persidangan itu berdiri di balkon memberikan penghormatan yang tulus untuk Atticus Finch. Hanya berdiri. Tanpa yel-yel ataupun teriakan emosional lainnya. Namun itu sudah cukup untuk menghasilkan sebuah adegan yang menggetarkan. Dari mengikuti proses persidangan tersebut sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa tuduhan untuk Tom sangatlah lemah. Hanya didasarkan pada keterangan dua orang saksi, Mayella sebagai saksi korban dan ayahnya, Bob Ewell (James Anderson). Namun apa daya, selain melawan mereka, Tom Robinson dan Atticus juga harus melawan duabelas anggota juri yang semuanya kulit putih. Untuk diketahui, dewan juri dalam sistem pengadilan di Amerika Serikat memiliki posisi yang sangat penting. Mereka bertugas untuk memutuskan apakah terdakwabersalah atau tidak bersalah. Keputusan ini haruslah bulat. Sedangkan hakim bertugas untuk memimpin sidang, mengawalnya agar berlangsung tertib, dan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa berdasar keputusan yang dihasilkan dewan juri. Sebetulnya tidak masalah apa yang menjadi latar belakang dari warga yang ditunjuk sebagai dewan juri. Apakah dia berkulit hitam atau berkulit putih. Namun dalam kasus ini kondisi di mana seluruh dewan juri berkulit putih dan terdakwa berkulit hitam tidak bisa diabaikan begitu saja, mengingat kasus ini terjadi di Maycomb, Alabama, tahun tigapuluhan. Suatu era yang dikenal sebagai masa Great Depression, masa resesi ekonomi paling parah yang pernah dialami Amerika Serikat, bahkan dunia. Suatu era di mana sentimen rasial berdasar warna kulit tengah mewarnai kehidupan masyarakat Amerika Serikat dengan begitu pekatnya, tak terkecuali di kota kecil Maycomb. Memang mereka bisa hidup bersama dalam suatu wilayah, namun tidak berarti tidak ada kecurigaan antarras. Kebanyakan warga kulit putih hidup dengan asumsi bahwa semua orang negro adalah pembohong, amoral, dan tidak bisa dipercaya.
Atticus sebenarnya sangat memahami situasi ini dan paham betul akan resiko yang diambilnya saat bersedia mengemban tanggung jawab untuk membela warga kulit hitam, sementara dia adalah seorang kulit putih. Bahkan karena itu dia kerap mendapat intimidasi dari warga sekitar, dimusuhi, dan mendapat predikat yang terkesan merendahkan, nigger lover. Alasannya secara pribadi adalah bila dia tidak membela orang yang tertindas, dia akan kehilangan kehormatannya. Kehormatan di masyarakat, kehormatan profesi, dan juga kehormatan sebagai manusia. Yah, di saat kebanyakan warga kulit putih yang sinis memandang rendah derajat kulit hitam, masih ada Atticus Finch yang waras nurani. Semangat Atticus ini turut ditiupkan oleh kedua anaknya, Scout dan Jem (Phillip Alford), yang terus memberikan dukungan kepada sang ayah. Walaupun kadang kala bentuk dukungannya tidak direstui Atticus karena malah mengundang bahaya. Sejak kematian istrinya saat Scout berumur dua tahun, Atticus harus membesarkan dua buah hatinya yang bandel ini seorang diri. Anak-anak yang entah mengapa tidak pernah memanggilnya Papa, namun justru memanggil dengan namanya langsung. Anak-anak yang seringkali mau tahu urusan orang dewasa. Anak-anak yang sangat penasaran dengan keberadaan tetangga mereka yang tidak pernah muncul, Arthur 'Boo' Railey (Robert Duvall). Dalam mendidik anaknya, Atticus sangat tertolong dengan keberadaan Calpurnia (Estelle Evans), pembantu rumah tangga kulit hitam yang dipekerjakannya. Keberadaan sepasang kakak beradik ini sepintas tidak berkaitan langsung dengan peristiwa genting yang tengah terjadi di kota mereka. Namun, justru dari kacamata merekalah (khususnya Scout yang menarasikan kisah film ini) konflik dalam To Kill A Mockingbird digambarkan. Hal ini tidak lepas dari ayah mereka yang berperan sangat penting dalam proses persidangan yang terjadi. Dari komunikasi yang terjadi dalam keluarga kecil ini kita bisa melihat bagaimana karakter seorang Atticus Finch, juga Jem dan Scout. Bisa dikatakan bahwa selain menjalani profesinya sebagai pengacara, dia sangat peduli akan pendidikan untuk anak-anaknya.
Selain memberikan wejangan untuk tidak mudah gentar menghadapi gertakan dari pihak lain dan pantangan untuk membalas kejahatan dengan kejahatan, ada satu pesan moral untuk direnungkan terkait dengan burungmockingbird. Mockingbird tidak pernah merugikan manusia. Tidak pernah memakan hasil kebun manusia. Tidak pernah membuat sarang di rumah-rumah manusia. Mereka hanya bernyanyi dan bernyanyi yang kemerduannya dapat dinikmati manusia. Adalah sebuah tindakan dosa bila sampai membunuh mereka. Analogi yang diimplementasikan langsung oleh Atticus dalam membela Tom Robinson di pengadilan. To Kill A Mockingbird sangat memukau untuk disimak. Sekalipun beralur lambat. Sekalipun disajikan dalam bentuk hitam putih. Sekalipun film ini sudah berusia setengah dekade. Sineas Robert Mulligan berhasil memadukan kasus yang tengah dihadapi Atticus dengan dunia anak-anak yang tercermin pada karakter Jem, Scout, juga Dill Harris, anak yang datang setiap liburan tiba. Gregory Peck dan Mary Badham mendapat nominasi Oscar dalam film ini. Peck bahkan memenangkannya untuk kategori Best Actor in Leading Role. Keputusan yang tepat dari para juri Academy Awards. Peck dengan gemilang berhasil membawakan karakter Atticus sebagai pengacara yang cerdas, berkharisma, sekaligus ayah yang hangat untuk putra-putrinya. Sangat mengesankan melihat dia menyampaikan kesimpulan akhirnya di hadapan para juri. Kesimpulan yang teramat panjang, yang diucapkannya dengan begitu lancar dalam satu take. Sungguh sebuah tantangan seni peran yang berhasil ditaklukkan oleh seorang Gregory Peck. To Kill A Mockingbird diadaptasi dari sebuah novel best seller dengan judul yang sama karangan Harper Lee. Penulis yang hanya menulis satu novel ini saja sepanjang hidupnya. Isu rasial yang menjadi sentral cerita film dan novel ini sepertinya memang relatif lestari sekalipun banyak pihak yang ingin memunahkannya dengan dalih asas kesetaraan umat manusia. Di zaman modern seperti ini pun masih sering kita dengar dengungnya, baik di luar negeri maupun di tanah air. Sikap dan tindakan rasis tidak perlu terjadi bila setiap warga negara (dan sebagai umat manusia) menyadari bahwa nilai manusia sama di mata hukum dan di mata Tuhan. Tidak peduli agamanya apa, warna kulitnya apa, tingkat ekonominya seperti apa, dan varian-varian pembeda lainnya. Suatu cita-cita yang mulia, yang hanya bisa terwujud bila dikawal oleh aparat berwenang yang tegas, berani, adil, dan tanpa kompromi. Sesuatu yang saat ini langka dijumpai di negeri kita. Sayang sekali.... Diposting ulang dari : http://www.facebook.com/notes/djati-agung-nugroho/to-kill-a-mockingbird-1962-biarkan-burung-itu-bernyanyi-/404639346250190
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya