Yayok Haryanto, No. 107
 "Lagi pa !", pinta Aji - anak ketigaku - saat aku selesai menceritakan kisah siput menang lomba lari melawan kelinci. Permintaan replay untuk yang keempat kalinya. Belum bosan dan sangat tertarik. Beginilah kisahnya :
Seluruh hutan tentu sudah mengenal lincahnya kelinci serta lambatnya siput. Kelinci yang tampan ternyata memiliki karakter sombong dan kurang menghargai binatang-binatang kecil. Bangsa kura-kura khususnya, sering menjadi bahan permainan kelinci. Tiap bertemu kura-kura, kelinci pasti membaliknya, sehingga kura-kura tidak bisa berbuat apa-apa. Beruntung, warga hutan lainnya gemar menolong dan begotong royong.
Suatu hari kelinci bertemu kura-kura. Seperti biasanya, dia mau membalikkan badan kura-kura tersebut. Untunglah, ada kakek siput yang melihatnya. "Stop", kata kakek siput,"jangan lanjutkan kebiasaanmu menghibur diri dengan mempermainkan kura-kura. Ada kebiatan lain yang lebih baik, menyehatkan, menghibur dan menantang !".
Kelinci terkejut dan menjawab ;"Memangnya kakek bisa memberiku kegiatan yang menyenangkan ? Kakek sangat lambat dan jarang meninggalkan semak. Pasti hidup kakek membosankan !"
Kakek kura-kura menjawab :"Diam bukan berarti tidak berimajinasi dan berkreasi. Aku diam, tetapi selalu berfikir dan berdzikir. Karena itu, aku punya ide yang akan menggemparkan seluruh warga hutan."
"Halah, paling juga ide kakek kuno alias jadul ! Kalau kakek bisa mengalahkan aku dalam lomba lari, baru ide yang hebat !", kata kelinci dengan sombongnya.
"Siapa takut ?!", jawab kakek siput.
Maka, disepakatilah pelaksaan perlombaan esok harinya. Karena siput tidak bisa berjalan di jalan yang berpasir, maka kelinci akan berlari di jalan dan kakek siput akan merayap di antara semak di tepi jalan.
"Tebak, siapa yang akan menang ?," tanyaku pada Aji.
"Kelinci, pa ?", jawab Aji.