Orang Jawa "mengagungkan" angka 9 (sembilan) sebagai angka tertinggi. Ada beberapa alasannya, salah satunya mengenai falsafah sedulur papat lima pancer, kiblat papat lima pancer, jalma limpat seprapat tamat. Papat itu empat (4), lima itu lima (5). 4 + 5 = 9. Perkenalan saya dengan perpustakaan sebenarnya sudah sejak SLTP, lebih intens lagi saat di SLTA, dimana hampir setiap istirahat belajar, saya menyempatkan datang ke perpustakaan. Setelah itu belajar di Kota Pelajar Yogyakarta, maka saya semakin sering ke perpustakaan kampus sehingga kebiasaan itu seperti halnya hobi, bahkan menjurus semacam terapi. Pasalnya, walaupun saya tidak selalu mengerti materi yang saya baca, tetapi bila sedang menganggur, bila tidak menonton televisi atau sejenisnya, bahkan kala sedang menonton dan mengetik pun saya menyempatkan memegang buku atau majalah atau tabloid untuk "sekadar" membaca atau melihat-lihat saja. Serasa "percuma" hidup ini bila hanya bengong, tidak melakukan sesuatu seperti membaca misalnya. *** Intermezzo: buku, majalah, dan tabloid selanjutnya saya singkat dengan BMT. Dengan membaca atau melihat-lihat BMT, jawaban akan keingintahuan saya akan sesuatu tercapai dan kegundahan atau kegalauan hati pun saya "terobati". Ada rasa happy, senang, meskipun kadang bisa juga jadi sedih gara-gara membaca atau melihat-lihat. Ada "campur aduk rasa" yang tidak dapat terbahasakan dan terwadahi oleh tatap muka, bahkan petualangan sekalipun. Ternyata, banyak hal saya teringat akan sesuatu gara-gara kebiasaan saya itu. Ternyata, banyak hal saya terinspirasi akan sesuatu gara-gara kebiasaan itu. Jadinya, buku seperti candu, BMT laiknya candu. Untuk mengobati atau menuruti kecanduan saya itu, maka saya "bertualang" ke perpustakaan atau taman bacaan. Namun syaratnya perpustakaan itu harus hening, tetapi tidak menakutkan, sehingga membuat saya nyaman dan bebas merenungkan kata per kata. Karena daya ingat saya melemah sejak "peristiwa-peristiwa janggal", bila ada buku yang bagus, maka saya akan membelinya untuk saya baca lagi dan lagi. Sembilan (9) perpustakaan di bawah ini memiliki ceritanya sendiri-sendiri bagi saya. 1) Perpustakaan UGM, utamanya UPT II Perpustakaan UGM . Lokasinya di Jl. Kaliurang, Kampus UGM, tepatnya utara Mirota Kampus  Jl. C. Simanjuntak, Yogyakarta. Kali pertama saya ke perpustakaan kampus ini tidak begitu ingat, mungkin awal-awal kuliah sekitar  september 1996. Pasalnya, awal-awal di Yogya saya tipe anak perpus-kos-kampus dan kampus-kos-perpus. Maklumlah anak baru, pendatang, gak gaul lagee, hehe... Tempat favorit saya adalah lantai paling atas, dekat jendela, semilir angin menyejukkan, kala membaca sembari melongok Jl. Kaliurang yang selalu ramai dan lirak-lirik sama pembaca lain, karena memang tempatnya luas dengan bangku-meja tertata rapi. Di atasnya lagi adalah kantor Radio Swaragama FM. Namun kini Sawaragama FM sudah pindah ke sebelah barat Gelanggang Mahasiswa. Tempat favorit berikutnya adalah kantin yang belakangan dinamai Bu Gajah. Setelah lelah membaca, maka saatnya mengisi perut. Fasilitas perpustakaan yang lengkap, seperti kantin, mushola, toilet,  dll juga membuat betah. Istilahnya 1 stop service. Namun setelah menjadi satu dengan UPT I Perpustakaan yang bersama-sama menempati gedung baru berlokasi di selatan Balairung atau utara Grha Sabha Pramana, kantin pun hilang. Dengar-dengar kantin hendak dibuat kantong parkir, sedangkan gedung perpustakaan difungsikan sebagai Kantor Arsip UGM. Memang sejak pembatasan kendaraan ber-BBM masuk kampus, diutamakan yang masuk kampus adalah kendaraan non BBM semisal becak, sepeda angin/onthel, UGM membuat banyak kantong-kantong parkir di pinggir-pinggir kampus. Selain koleksi buku-buku baru, banyak juga koleksi buku-buku tua berbagai bahasa. Buku-bukunya besar dan tebal. Sesekali ditemani seorang putri, saya membayangkan serasa Harry Potter dan Hermione Granger sedang berada di ruang kelas Hogwarts, yang baru saya tahu tentang Harpot dan Hermione belakangan lewat film-film Serial Harpot. Wonderfull... Saat momentum Reformasi '98 ketika di perempatan Mirota Kampus water canon menyemprotkan air kepada para mahasiswa yang berdemo, saat itu saya sedang berada di lantai 3 dekat jendela itu. Terus terang, saya tidak punya nyali untuk ikut berdemo kala itu. Saya hanya berpartisipasi dalam long march damai bersama puluhan ribu mahasiswa dan masyarakat menuju titik 0 Km Jogja untuk mendengarkan "orasi agung" Sultan HB X dan tokoh reformasi yang lain. Sepanjang perjalanan saya tetap berada di dalam barisan yang dibatasi dengan tali rafia. Sepanjang jalan warga dan pemilik toko di Jl. C Simanjuntak-Jl. Sudirman-Jl. Mangkubumi-Malioboro tak henti-hentinya memberikan air minum kepada long march-er, termasuk saya. Sungguh memori yang tak terlupakan seumur hidup. 2) Perpustakaan Kota Yogyakarta. Perpustakaan yang selalu ramai, karena tempatnya asyik dan koleksinya banyak dan komplit, ini beralamat di Jl. Suroto, Kotabaru, Yogyakarta, tepatnya di belakang (selatan) Toko Buku Gramedia Sudirman, Yogyakarta. Setahun sudah perpustakaan ini mempunyai area hot spot di halamannya. Keunikannya, perpustakaan ini mempunyai program semacam pelatihan, library tour, diskusi/talkshow berkala, Bank Buku Jogja, dan angkringan buku. So, creative... Saya tidak ingat kali pertama ke perpustakaan ini, mungkin baru 3-4 tahun silam. Koleksi BMT-nya banyak dan bervariasi membuat saya betah di perpustakaan ini, meskipun ruang bacanya sempit, tidak selebar UPT Perpustakaan UGM, sehingga harus "berebut" tempat bila ingin berlama-lama membaca. Perkenalan saya dengan buku "Makrifat Sunan Kalijaga" dan "Makrifat Syekh Siti Jenar" karya Achmad Chodjim, penerbit Serambi, Jakarta, "Muhammad The Super Leader Super Manager" karya Dr. Muh. Syafii Antonio, dan "Genealogi Keruntuhan Majapahit. Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali" karya Nengah Bawa Atmaja, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta di perpustakaan ini. Walaupun belum sempat kelar membaca "Makrifat Sunan Kalijaga" dan "Muhammad The Super Leader Super Manager", karena kian bejibunnya pengunjung membuat tidak nyaman, saya sangat terkesan dan bernadzar "harus" membelinya. Namun apa daya, hingga detik ini, tak kunjung mendapatkannya meskipun sudah keliling toko buku, bursa buku, dan agen buku seantero Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul), bahkan hingga ke beberapa kota-kota di Jawa Tengah pada Tour de Central Java pertengahan 2011 yang lalu. Akhirnya sebagai pelipur lara, karena saya sangat tertarik dengan bahasan tentang wejangan dan falsafah Lir-ilir, pacul, dll, saya membeli buku Ajaran dan Dzikir Sunan Kalijaga 2-3 bulan yang lalu pada sebuah pameran buku di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Jl. Adisucipto, Yogyakarta. Sedangkan buku "Syekh Siti Jenar 2 Makrifat dan Makna Kehidupan" saya membelinya pada 8 Agustus 2011 di Eks Shopping Center (Taman Pintar), Yogyakarta. Buku "Muhammad The Super Leader Super Manager" belum saya dapatkan hingga detik ini, menurut info dari distributor Tazkia di Jl. Abu Bakar Ali, Yogyakarta, buku tersebut sudah tidak dicetak lagi, dan sebagai gantinya diterbitkanlah 8 seri Muhammad SAW itu. 3) Badan Perpustakaan Provinsi DI. Yogyakarta, Jl. Tentara Mataram, Badran, Yogyakarta, tepatnya selatan Universitas Janabadra, Yogyakarta. Koleksi perpustakaan pemerintah ini bervariasi dan lengkap dengan ruang baca lebih luas dari pada Perpustakaan Kota Yogyakarta, meski tidak seluas UPT Perpustakaan UGM. Sekitar 3 bulan yang lalu saya membaca buku "Candi Murca: Air Terjun Seribu Angsa" karya Langit Kresna Haryadi, dimana yang saya tertarik dan ingat mengenai awal mula "pulung" wahyu cakraningrat jatuh kepada Ken Arok dan Ken Dedes, juga menceritakan dendam Prameswari kepada Narasinghamurti. Namun ketika berkunjung beberapa hari kemudian untuk merampungkannya, saya belum menemukan buku itu lagi, sampai hari kemarin ketika saya membaca "Wahyu Ilahi Kepada Muhammad" karya Muhammad Rasyid Ridla, terbitan 1987. Memang di perpustakaan ini banyak buku-buku baru dan tua yang bagus-bagus. Oleh karennaya kadang kala banyak pengunjungnya. 4) Jogja Libary. Lokasinya di Malioboro, Yogyakarta. Malioboro, saya mengakuinya, selalu menjadi magnet, meskipun tidak sekuat UGM dan Bantul. Ketika ingin menikmati sekaligus "mencuri dengar" sekaligus "menceburkan diri" ke dalam diskusi "rakyat" maka saya pergi ke Malioboro, terutama di warung angkringan. Memang tak jauh dari Jog-Lib, tepatnya di sebelah selatannya terdapat "rumah rakyat" bernama Gedung DPRD Provinsi DIY. Terus ke selatan ada pula Kepatihan alias Gubernuran, kantornya Ngarso Dalem Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY. Oleh karena besarnya tiga kekuatan magnet (magnet bisnis, magnet kuasa rakyat, magnet kuasa pejabat) sekaligus sebagai penghubung garis imajiner Tugu dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat itulah Malioboro selalu menarik, apalagi bagi para pendemo. (dok. http://langlangbahasa.blogspot.com/2010/12/mari-giatkan-membaca.html) Setahu saya, hanya di Jog-Liblah pengunjung bisa membaca atau mengakses wifi sambil lesehan di lantai kayu coklat halus dengan suasana yang menyenangkan dan angin sepoi-sepoi. Benar-benar mengasyikkan. Bila membaca seperti gambar, tentu lebih asyik lagi, hehe... tentu bila tidak ada pengunjung lain. Itulah sebenarnya membaca yang nyaman, meskipun kurang baik bagi kesehatan. 5) Perpustakaan dan Bimbingan Belajar Iqro'. Lokasi perpustakaan masyarakat yang didirikan dan dikelola oleh Komunitas Pemuda Peduli Pajangan (KP3 = Kapetiga) ini di Dusun Kalakijo, Guwosari, Bantul, DI. Yogyakarta, tepatnya di sekitar 2 Km selatan Goa Selarong. Koleksinya cukup bervariasi dan lengkap dengan ruang baca yang cukup luas. Ada juga bimbingan belajar bagi penerima sumbangan dari sebuah yayasan. 6) Perpustakaan Daerah Sleman. Alamatnya, Jl. Candi Boko, Beran, Sleman, DI. Yogyakarta, tepatnya di Kompleks Pemerintah Kabupaten Sleman, sebelah barat Taman Kota "Denggung", Jl. Magelang, Denggung, Sleman. Koleksinya cukup bervariasi dan lengkap dengan ruang baca yang cukup luas. Saya pernah membaca buku mengenai wayang dan pernikahan ala Jawa. 7) Perpustakaan Daerah Bantul. Lokasinya di Jl. Jendral Sudirman, Bantul, tepatnya di sebelah selatan BRI Bantul. Sebagaimana Perpusda Sleman, koleksinya cukup bervariasi dan lengkap dengan ruang baca yang cukup luas. Kali pertama saya berkunjung ke sana setahun silam, tetapi cukup berkesan, karena pengunjungnya lumayan banyak. Setelahnya saya belum ke sana lagi. Orang Bantul memang dikenal "lebih cerdas" ketimbang orang DIY pada umumnya. Bantul bahkan "mengklaim" sebagai Tamansari yang terpampang pada slogannya Projo Tamansari. Sementara Kota Yogyakarta memang mempunyai obyek wisata Tamansari di dalam kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengenai Tamansari saya ingat betul bahwa kata itu saya dengar kali pertama, sekitar akhir 1996, dari Guru Besar Filsafat UGM Prof. Damardjati Supadjar. Tamansari yang dimaksud profesor yang pakar budaya Jawa sekaligus humoris ini, sebagaimana taman surga sekaligus tempat pengglembengan insan--insan unggul hingga gaungnya hingga ke daerah sekitarnya. Hal ini sepertinya disebabkan oleh ikon Jogja sebagai Kota Budaya dan Pendidikan membuatnya menjadi destinasi orang se-Nusantara bahkan mancanegara menjadikan Jogja menjadi ikon Bhinneka Tunggal Ika yang harmonis sehingga masyarakatnya bangga sebagai "Warga Kampung Dunia" atau "Warga Kampung Universa". Menurutnya, Indonesia adalah tamansari dunia. Yogyakarta (DIY) adalah tamansari Indonesia. Kota Yogyakarta (Jogja) adalah tamansari DIY, karena (obyek wisata) Tamansari  berada di Kompleks Kraton Yogyakarta yang berada di pusat Kota Jogja. Mengenai ini saya akan menuliskannya lebih detail, mungkin saja judulnya, Java Trully Universa: Jogja Trully Nusantara. Insya Allah. 8) Perpustakaan Kolese St. Ignatius, Yogyakarta. Masih di awal-awal kuliah, setelah mengenal Perpustakaan UGM, saya sudah dibekali kendaraan sendiri, sehingga lebih bebas bertualang, termasuk mengenal perpustakaan yang beralamat di Jl. Abu Bakar Ali, Yogyakarta, tepatnya di sebelah barat Gereja Kotabaru, Yogyakarta. Walaupun tidak sampai sejumlah 10 jari tangan saya berkunjung kesana, bahkan sejak 1998 hingga detik ini saya tidak pernah lagi ke sana, meskipun sering melewatinya, tetapi saya mulai mengenal kemajemukan sekaligus harmonisasi hidup di pusat budaya Jawa ini. Kotabaru adalah sebuah kawasan yang unik, gereja dan sekolah Nasrani berdekatan dengan Masjid Syuhada dan sekolah Islami. Momentum itulah yang salah satunya membuat saya relatif menerima diversity in unity (Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa). 9) Taman Bacaan Masyarakat "Mabulir". TBM ini berada di Kauman, Yogyakarta, tepatnya di sebelah barat Masjid Gedhe Yogyakarta. Pemilik sekaligus pengelola perpustakaan ini adalah seorang kakek veteran perang Gerilya bernama Dauzan Farook. Saya beberapa ke sana untuk membaca-membaca dan diskusi mengenai perpustakaan dan perbukuan. Bahkan saya sempat menemani beliau menemui "pelanggan" sekaligus menggilirkan BMT-nya di kawasan Badran. Sempat juga saya tidur semalam saja bersama Simbah di rumah yang juga TBM-nya yang penuh dengan BMT. Serasa saya tidur dengan buku-buku. Woww... hebat sekali Panjenengan, Simbah... Namun sepeninggal setelah wafatnya aktivis perpustakaan pada 2007 silam, TBM-nya off, meskipun sempat dijalankan sekitar setahun oleh anaknya yang menempati sebuah rumah di Tegaltirto, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DI. Yogyakarta, tepatnya di sebelah timur Kraton Ambarketawang dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Selain sembilan perpustakaan tersebut, masih ada belasan perpustakaan yang lain, tetapi kunjungan saya tidak sering. Bagaimana pun sedikit atau banyak semua perpustakaan tentu bersejarah bagi saya. Terima kasih. Hanya Tuhan yang mampu membalasnya secara adil. Sepenggal Kisah Merangkai Sejarah. Ayo Melek Pustaka Ayo Melek Sejarah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H