"Mengapa Majapahit runtuh? Menjawab pertanyaan ini tentulah melibatkan sejumlah bahasan dan analisis terkait dengan keruntuhan kerajaan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Nusantara. Benarkah asumsi mayor bahwa pesatnya pertumbuhan Islam kala itu -direpresentasikan oleh Kerjaan Demak Bintoro dan pergerakan besar pasukannya ke ibukota Majapahit- sebagai faktor utama yang menuntaskan Kerjaan Majapahit? Buku ini mengurai dan menganalisis semua permasalahan di atas dan berbagai peristiwa sejarah yang mengitari subjek ini, baik yang sudah pernah dikemukakan dan diterima oleh sebagian kalangan akademisi maupun yang belum pernah sama sekali diajukan. Di sini disajikan wacana utama dan tandingan. Yang lebih menarik daripada buku-buku lain tentang keruntuhan Majapahit yang telah beredar, buku ini menyajikan rekonstekstualisasi peristiwa seputar  keruntuhan Majapahit, Islamisasi menjelang dan pascakeruntuhan tersebut, dan "toleransi" di tengah kecamuk keruntuhan tersebut dengan kondisi kekinian dan kasus tetap bertahannya agama Hindu di Bali. Buku ini adalah sebuah literatur yang komprehensif tentang keruntuhan Majapahit yang ditujukan bagi para mahasiswa dan ilmuwan atau sejarawan yang berminat menelisik lebih dalam peristiwa keruntuhan Kerajaan Majapahit. Lebih dari itu, buku ini bukan sekadar cerita mengenai masa lalu, tetapi memuat juga kerangka untuk menyikapi zaman dengan merujuk pada pelajaran dari berbagai peristiwa di masa sebelumnya. Semoga bermanfaat! (dok. http://oase.kompas.com/read/2011/02/08/00583033/Menyibak.Keruntuhan.Majapahit) Judul: Genealogi Keruntuhan Majapahit, Islamisasi, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali Penulis: Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Edisi: 1, 2010 ISBN: 978-602-8764-81-0 * * * * * Berikut beberapa paragraf yang patut dicermati meskipun masih mengandung kekaburan sejarah. (1) A. Chodjim (Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, Serambi, 2009) memberikan penjelasan sangat menarik tentang grerakan emansipasi atau pembebasan yang melibatkan kerja sama antara Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging sebagai berikut. Dari sejarah kita tahu bahwa para wali bukanlah putra pribumi. Hanya Sunan Kalijaga yang pribumi, yaitu putra Arya Teja, penguasa Tuban. Karena itu, Siti Jenar menyatakan bahwa "terlalu berani para wali itu mengundangnya. Jadi, jika Siti Jenar menolak panggilan, tidak mau diperintah datang ke Demak, dan memilih bergabung dengan Pengging, itu merupakan upaya logis untuk mempertahankan tanah airnya.... Siapapun boleh datang ke Jawa, ke Nusantara ini. Siapapun boleh menyampaikan ajaran yang dipandang bisa mencerahkan bangsa ini. Turut serta berbagi pengetahuan. Berbagi rasa. Berbagi keahlian. Turut serta memakmurkan, dan menegakkan keadilan. Tapi Syekh menolak bila kedatangan mereka justru untuk memerintah. Dalam bahasa politik sekarang, mereka ditolak karena ikut campur urusan internal. Ia orang asing, bertamu dan beranak cucu, kok malah menggeser tuan rumah. Perhatikan sentilan politik Syekh, "saya berada di bumi dan di bawah langit yang sejak semula milik saya." Dalam bahasa sekarang, "Saya berada di tanah airku sendiri. Kalian kan bukan pemilik tanah air ini. Bagaimana kalian mau memerintah saya? Tak ada hak buat kalian untuk memerintah saya." (Chodjim, 2009: 158-159). Dengan demikian, terlihat bahwa emansipasi yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar, tidak saja mengubah visi negara yang totaliter ke arah visi yang egaliter, tetapi terkait pula dengan pembebasan Jawa dari penguasa asing, yakni Raden Patah-keturunan China yang didukung oleh Wali Sanga-kebanyakan keturunan asing. Dengan mengacu kepada Djaya (2007) visi egaliter yang dikembangkan oleh Siti Jenar terkait dengan latar belakangnya, yakni berasal dari wong cilik (dalam tradisi Jawa dikisahkan berasal dari cacing). (2) Mereka (pengikut Syekh Siti Jenar, red) bukan hanya merampok, menyamun, dan membegal, akan tetapi mereka juga mempengaruhi rakyat untuk melakukan pemberontakan-pemberontakan, maka kegiatan mereka bukan saja dianggap sebagai kejahatan biasa, akan tetapi dianggap kejahatan politik yang berbahaya bagi keselamatan negara (Demak Bintoro, red) (Double: 2007: 47). Bahkan ditambahkan oleh Rinaldi (2008: 68), disinyalir bahwa ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah Demak. Hal ini disebabkan oleh ular para muridnya yang berbuat kegaduhan, merampok, berkelahi bahkan membunuh. Bila ada kejahatan dan keonaran, tentulah murid Syekh Siti Jenar yang menjadi pelakunya. Mereka melakukan demikian, menurut Djaya (2007: 10-11), karena memang dalam kenyataannya, banyak murid Syekh Siti Jenar yang kurang sempurna ilmunya justru menimbulkan keonaran. Namun, itu harus dibaca sebagai sebuah proses wong cilik belajar tanpa bimbingan guru (diberi kebebasan melihat oleh guru). (Selain itu, karena tidak melakukan bimbingan, juga ada kesalahan Syekh Siti Jenar yang lain, yakni tidak memiliki kemampuan finasial/ekonomi untuk menopang ajaran dan pengikutnya yang bertambah banyak, red), yaitu melalui dialektika-dialektika. (3) Tapi ada juga kemungkinan lain. Boleh jadi Syekh Siti Jenar sendiri memiliki suatu kepentingan tertentu selain kepentingan keagamaan. Saat bertemu Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo, "trah" Majapahit yang secara politis tersingkir oleh ombak besar pengaruh pengembanagan Kesultanan Demak, mereka lalu bergabung. Ki Kebo Kenongo mungkin diam-diam hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Buddha Majapahit. Sedang Syekh Siti Jenar, mungkin hendak menyimpang dari "dewan wali" untuk membangun "imperium"-nya sendiri tanpa kontrol atau dicampurtangani siapapun, khususnya "dewan wali" tadi (Sobary, 2000: ix). * * * * * Membaca kalimat tersebut, ada beberapa penjelasan meskipun masih bertumpu pada sejarah yang kabur, tetapi masih bisa dinalar. (1) Wacana pribumi dan non pribumi harus dicarikan jawaban dari akar sejarah mengenai asal-usul. Mengenai pengakuan Syekh Siti Jenar sebagai pribumi, tentu masih debatable. Pasalnya, bisa saja justru SSJ-lah yang non pribumi, karena riwayat hidupnya masih misteri, meskipun lebih kuat dugaannya sebagai non pribumi, sedangkan mengenai keberadaannya terungkap dengan adanya dokumen Kropak Ferrara sebagaimana disebutkan dalam buku "Misteri Syekh Siti Jenar Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa". Pengakuan Syekh Siti Jenar sebagai pribumi bisa jadi karena ia bergabung dengan Ki Kebo Kenongo, putra Pangeran Handayaningrat, putra Brawijaya V, raja terakhir Majapahit "trah" Raden Wijaya, berarti pribumi. Sementara Sunan Kalijaga tepat dikatakan sebagai pribumi merunut dari asal-usulnya menurut buku yang sama juga buku-buku semacam Babad Tanah Jawi, dll. Sunan Kalijaga adalah putra Arya Teja, penguasa Tuban, masih "trah" Ranggalawe. Demikian pula dengan Raden Patah adalah pribumi merunut garis ayahnya, yakni Brawijaya V, raja terakhir Majapahit "trah" Raden Wijaya. Perbedaan Raden Patah dengan Ki Kebo Kenongo adalah ibunda Raden Patah adalah putri Champa-keturunan China, berarti non pribumi, sedangkan ibunda Ki Kebo Kenongo adalah Ratu Pembayun, putra sulung Brawijaya V, berarti pribumi. Dari silsilah diketahui bahwa Raden Patah adalah paman Ki Kebo Kenongo, karena ibunya Ki Kebo Kenongo adalah kakaknya Raden Patah. Dengan demikian wacana pribumi dan non pribumi sebenarnya hanyalah persoalan perbedaan dari garis ibu, itu pun hanya berselisih satu generasi, sedangkan dari garis ayah adalah sama-sama pribumi. Pribumi dan non pribumi sebenarnya wacana yang debatable. Pasalnya, definisi pribumi dan non pribumi itu apa? Bila pribumi dikatakan sebagai contohnya adalah Brawijaya V (ayah Raden Patah dan Ratu Pembayun) sedangkan non pribumi adalah di luar trah tersebut, misalnya putri Champa (ibunda Raden Patah), maka bisa dikatakan tepat wacana itu karena Ki Kebo Kenongo head to head Raden Patah berlainan ibu. Namun bila melihat garis ayah, maka mereka sama-sama pribumi. Pada kubu Ki Kebo Kenongo dan Syekh Siti Jenar (Pengging) terdapat Ki Kebo Kenongo yang pribumi (X) dan Syekh Siti Jenar yang non pribumi (Y). Sementara pada kubu Raden Patah dan Sunan Kalijaga (Demak) terdapat Raden Patah yang non pribumi (Y) dan Sunan Kalijaga yang pribumi (X). Nah, masing-masing kubu sebenarnya sama, yaitu keduanya campuran pribumi dan non pribumi. Perbedaanya pada "jagoan" masing-masing. Jagoan Kubu Pengging adalah Ki Kebo Kenongo sedangkan jagoan Kubu Demak adalah Raden Patah. Perbedaanya pula Ki Kebo Kenongo hanya didukung oleh Syekh Siti Jenar, sedangkan Raden Patah didukung Sunan Kalijaga dan Wali Songo yang lain. Plus adanya restu yang ditandai dengan Islam-nya Brawijaya V, dimana adanya falsafah Jawa yang berbunyi agama ageming aji, agama raja maka rakyat mengikutinya secara kesadaran lahiriah dan batiniah, tentu secara nalar pemenangnya adalah jagoan non pribumi dari Kubu Demak, yakni Raden Patah. Dengan kemenangan Kubu Demak tersebut kemudian Kubu Pengging menebarkan ajarannya tetapi tanpa pembinaan dan kontrol yang bagus dan alasan-alasan lainnya sebagamana digambarkan pada kalimat (2) dan (3), maka di kemudian hari vonis "hukuman mati" dijatuhkan Kesultanan Demak kepada Syekh Siti Jenar dan Ki Kebo Kenongo. Alasan-alasan tersebut tentu sebagai sebuah satu kesatuan, bukan berdiri sendiri-sendiri bahkan harus dilihat dengan membaca penjelasan (1), sehingga vonis itu tidak menimbulkan kemunkaran atau kemudharatan yang lebih buruk bagi masyarakat Demak dan sekitarnya. Wallahu a'lam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H