Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Money

Keseimbangan Ternak dan Hutan

17 Februari 2013   17:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:09 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pemberdayaan (empowerment) menjadi wacana yang paling mengemuka dalam dua dasa warsa terakhir ini dalam kaitannya dengan pengembangan masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam pasal 83 ayat 1 PP No. 06 tahun 2007 bahwa untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil harus dilakukan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.“Bumi Timor termasuk Timor Tengah Selatan sangat terkenal karena hasil alam kayu cendana.  Aturan adat telah menjaga kelestarian pohon cendana dengan memperhatikan segi pelestarian dalam budi dayanya. Namun celakanya, tahun 1992, Pemerintah melakukan “Operasi Bersahabat” dalam bentuk eksploitasi besar-besaran terhadap kayu cendana. Sehingga yang terjadi penebangan kayu cendana, tidak hanya yang tua, tetapi juga yang muda. Padahal penebangan diperbolehkan hanya pada kayu yang telah tua, itu pun harus melalui prosesi/ritual adat,“ jelas Krisdyatmiko, Deputi Direktur bidang Program padaInstitute for Reasearch and Empowerment (IRE) Yogyakarta padaWorkshop Animal and Agroforestrydi Kampus Fakultas Peternakan UGM, Bulaksumur, Yogyakarta (9/02/2010).Dalam hajatan atas kerjasama Fapet UGM denganInternational Community Research for Agroforestry(ICRAF) hadir pula Pakar Agroforestry UGM Soemitro Padmowijoto, Dosen Fakultas Kehutanan UGM Budiadi, dan Konsultan PBB tentangAgroforestry I Gede S. Budisatria.Disebutkan Gede, 1 ha tanaman hutan dapat menampung 1 Unit Ternak (UT) sapi dan 4,4 UT domba, tanpa menimbulkan kerusakan pada hutan. “Jika hutan hanya dimanfaatkan untuk penggembalaan, setiap hektar luas lahan hutan mampu menampung 1,0-1,9 UT yang sangat dipengaruhi oleh musim,“ ujar dan Dosen Fapet UGM ini. Suatu daerah hutan akan dapat menampung ternak dalam jumlah tertentu dan tetap dalam kondisi baik selama bertahun-tahun apabila jumlah ternak yang dipelihara sesuai dengan daya tampung hutan. Kondisi yang baik akan tercapai apabila kurang dari 30% dari pertumbuhan saat musim hujan dimakan oleh ternak.Integrasi ternak dengan hutan dan perkebunan, ungkap Gede, sebenarnya telah dilaksanakan sejak jaman dahulu kala. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah, efisiensi produksi, mengurangi risiko kegagalan salah satu sub-sistem produksi dan menjaga keseimbangan lingkungan. Yang paling dikenal dan berhasil bagi kedua belah pihak (perusahaan dan masyarakat sekitar) adalah sistem integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit (SISKA) yang dilakukan PT Agricinal di Bengkulu. “Masyarakat yang tinggal di pinggir hutan di Kradenan, Grobogan memelihara ternak kambing Kacang dengan sumber pakan dari hutan. Demikian halnya dengan masyarakat Dlingo dan Imogiri, Bantul memanfaatkan hutan sebagai sumber pakan ternak kambing Bligon. Pun masyarakat Kemalang, Klaten memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan budidaya pertanian, kayu bakar, dan pakan ternak sapi dan kambing Bligon, dan masih banyak contoh lainnya,“ paparnya.Sementara Soemitro mengutarakan, budaya masyarakat Indonesia, khususnya Jawa sangat menjunjung tinggi alam dan lingkungan. Masyarakat Jawa menyebut pertanian dari asal kata mratani, yang berarti pengelolaan pertanian secara holistik meliputi bercocok tanam, beternak (termasuk ikan), berkebun,farming systemdi pekarangan, dan sebagainya. “Sejak jaman dahulu masyarakat sudah memerhitungkan daya dukung lahan dan lingkungan terhadap dirinya dan masyarakat di suatu perkampungan,“ jelas Guru Besar Fapet UGM ini.Pemaksaan program, tutur Soemitro, seringkali justru mematikan kreatifitas dan kearifan lokal, karena program dari Pemerintah kecenderungannya bersifat seragam, padahal masing-masing daerah/wilayah memiliki karakter alam, lingkungan, dan manusia yang berbeda-beda. Peran ternak dalam pertanian berkelanjutan sangat jelas. Sebagai contoh, ternak ruminansia, mereka mampu memanfaatkan sumberdaya alam berupa rumput, limbah tanaman pangan yang terbuang sebagai pakan ternak. Adanya usaha peternakan juga menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan, ternak bisa juga sebagai bio-asuransi bagi usaha taninya. Dan yang tak kalah pentingnya ternak mampu menghasilkan limbah sebagai bahan baku pupuk organik yang sangat berguna bagi tanah.(sumber: seminar/berbagai sumber)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun