Pertarungan Jokowi–Basuki vs Foke–Nara merupakan pertarungan Pilkada paling heboh se–jagad Indonesia Raya. Pasalnya, salah satu calon wakil gubernur adalah non–Muslim, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Pasalnya, salah satu calon gubernur adalah Joko Widodo, Walikota Solo aktif, dimana wakilnya adalah F.X. Hadi Rudyatmo adalah non–Muslim. Walaupun baru prediksi-prediksi, tetapi Jokowi diprediksi memiliki kans besar untuk memenangi Pilgub DKI II ini. Pasalnya, Jokowi–Basuki juara I pada Pilgub DKI Jakarta 2012 yang diikuti oleh enam (6) pasangan calon, menjungkalkan prediksi-prediksi lembaga survei yang menjagokan Foke–Nara menjadi juaranya dalam sekali putaran.
(dok. http://m.tribunnews.com/2012/09/04/irman-putra-pilkada-dki-harus-dua-putaran-tidak-tepat)
“Kemenangan” Jokowi–Basuki pada Pilgub DKI Jakarta Putaran II meskipun hanya disokong PDI-P dan Gerindra itulah yang “ditakutkan” sebagian orang. Pasalnya, “kemenangan” Jokowi secara otomatis akan mendudukkan FX. Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo. Kehebohan bertambah dengan prediksi-prediksi masa depan Jokowi yang kepincut men-calon presiden-kan atau di-calon presiden-kan pada Pilpres 2014 kelak mengingat kefenomenalannya, atau minimal men-calon wakil presiden-kan atau di-calon wakil presiden-kan mendampingi calon presiden Prabowo Subianto atau caon presiden dari kubu PDI-P, Megawati atau yang lain. Lagi-lagi besarnya kans “kemenangan” Prabowo–Jokowi pada Pilpres 2014 kelak, maka secara otomatis akan mendudukkan Tjahaja Basuki Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Melihat kemungkinan-kemungkinan seperti itu, sejumlah parpol, yaitu PD, Golkar, PKS, PAN, PPP, PKB, dan Hanura merapat pada Foke–Nara yang Muslim untuk menjegal kans “kemenangan”Jokowi–Basuki yang hanya didukung PDI-P dan Gerindra. Sempat ada "deal-deal politik" pada pasangan calon yang tidak berlaga pada Pilgub DKI Jakarta Putaran II, tetapi hasil keputusan akhir sokongan mereka sebagaimana tertulis di atas.
Tentu saja tidak hanya faktor non–Muslim vs Muslim yang menyebabkan pertarungan Jokowi–Basuki vs Foke–Nara menjadi paling heboh dibanding dengan Pilkada-pilkada lainnya di seantero Nusantara. Ada faktor etnis, yaitu Joko Widodo adalah orang Jawa, Basuki Tjahaja Purnama adalah orang Tionghoa, Fauzi Bowo adalah orang Betawi, dan Mayor Jenderal (Purn) Nachrowi Ramli adalah orang Betawi. Ada pula faktor prestasi, faktor sipil-militer, dan faktor-faktor lain yang saling berkaitan sebagais atu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa faktor keagamaan, menurut kacamata saya, merupakan faktor pertama dan utama yang menyebabkan Pilkada DKI Jakarta Putaran II sangat menarik, sangat heboh. Terus-terang fenomena ini membuat badan saya bergetar dan menggoyahkan tubuh saya nyaris mirip terdampak gempa. Gempa politik Jakarta ini berkekuatan 9,18, tetapi tanpa skala Richter.
Kenapa 9,18? Angka sembilan (9) adalah angka "keramat" atau angka yang "diagungkan" orang Jawa. Angka sembilan (9) dibagi tiga (3) maka hasilnya juga tiga (3). Angka satu (1) adalah angka "keramat" atau angka yang "diagungkan" orang Islam (Muslim). Tuhan menurut orang Islam hanya satu (1), yakni Allah SWT. Angka delapan (8) adalah angka "keramat" atau angka yang "diagungkan" orang Tionghoa. Angka delapan (8) dikurangi lima (5) maka hasilnya tiga (3). Angka lima (5), sebagai pengurang angka delapan (8), adalah juga angka "keramat" atau angka yang "diagungkan" orang Islam, yakni sebagai rukun Islam ada lima perkara dan shalat lima (5) waktu. Maksud pengurang itu adalah Basuki yang non–Muslim menjadi faktor utama resistensi orang Islam kepadanya.
Mari kita lihat foto surat suara di atas. Pasangan Foke–Nara bernomor 1 (satu), sehingga cocok dengan angka satu (1) sebagai orang Islam. Jokowi–Basuki bernomor 3 (tiga), sehingga cocok dengan angka sembilan (9) dibagi tiga (3) dan angka delapan (8) dikurangi lima (5).
Itulah peta sebab-musabab kehadiran Basuki dan Jokowi menjadi heboh. Saya menempatkan Basuki di depan Jokowi pada sebab-musabab ini disebabkan Basuki itu non Muslim, sementara Jokowi itu Muslim. Perbedaan keyakinan beragama tentu memunculkan “kegempaan politik” bermagnetudo terbesar ini, apalagi di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia bernama Jakarta, sebagai barometer Ipoleksosbudhankam. Pasalnya, ketika Pilgub sebelumnya yang menampilkan head to head Foke–Prijanto vs Adang–Dani tidaklah semenarik dan seheboh karena mereka berempat sama-sama Muslim.
Berawal dari sebab-musabab tulah tulisan ini akan saya bangun dengan memfokuskan pada patron tokoh politik mereka, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), Akbar Tanjung (Ketua Dewan Pembina Partai Golongan Karya), Amien Rais (Ketua Majelis Pertimbangan Partai Partai Amanat Nasional), dan Wiranto (Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat) pada kubu Foke–Nara dan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya) pada kubu Jokowi–Basuki. Mengenai patron PKS, PPP, dan PKB, mohon maaf saya terus terang kesulitan menerka, meskipun boleh saja ada nama Hidayat Nur Wahid (PKS), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Suryadharma Ali (PPP). Dengan demikian secara jumlah patron kubu Foke–Nara ada tujuh (7) orang (plus tiga dari PKS, PPP, dan PKB) sementara patron kubu Jokowi–Basuki hanya dua (2) orang.
Namun demikian saya tidak bermaksud menghadapkan Muslim dan non–Muslim dalam arena perseteruan yang tidak sehat. Itulah fakta yang ada sekarang. Artinya, sebagai Muslim dan non–Muslim yang memiliki hak pilih tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan akal sehat guna menentukan pilihan terbaiknya untuk Jakarta. Pasalnya, pilihanya itulah yang akan mempengaruhi kehidupan Ipoleksosbudhankam Jakarta, minimal, pada dirinya sendiri di lima tahun ke depan. Itulah tanggung jawab pribadi masing-masing.
Bersambung.....
Salam Indonesia Kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H