Merespon pertanyaan saudara kita, Kakang Dewa Gilang pada laman: Pertarungan Wacana Pribumi vs non Pribumi Syekh Siti Jenar vs Sunan Kalijaga.
Dalam temuan saya, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (BTITHDM) itu merujuk pada agama Majapahit ketika itu yaitu Syiwa-Boja atau Syiwa-Buddha-Jawa pada masa-masa akhir Dwi-Tunggal Majapahit: Hayam Wuruk-Gadjah Mada hingga Brawijaya V. Syiwa untuk merengkuh masyarakat yang menganut Hindu, dan Bo atau Buddha untuk merengkuh masyarakat Buddha, dan Jawa untuk merengkuh masyarakat Jawa, pribumi.
Adanya “penyatuan” agama kerajaan itulah yang memudahkan orang Jawa berpindah agama ke agama Islam, karena sudah mengenal konsep keyakinan/agama yang satu. Padahal sebelumnya multiagama. Atau bahkan kerajaan berdasarkan pada 1 agama saja, meskipun realitas di masyarakat bisa saja memang benar-benar multiagama, karena sulitnya mengontrol perihal keyakinan, karena itu permasalahan hati.
Meskipun Syiwa-Boja itu bukan faktor satu-satunya keruntuhan Majapahit, masih banyak faktor lain yang saling berkait, yang saya analisis dari membaca sekian buku, majalah, koran, dan tulisan yang tersebar di internet, di antaranya:
*) Agama ageming aji. Prabu Brawijaya V masuk Islam atas ajakan Sunan Kalijaga atas nama Walisanga dan Raden Patah, putra Brawijaya V, dan Walisanga menjamin keselamatannya serta meyakinkannya bahwa kerajaan baru pun dipimpin trah Majapahit, yakni Raden Patah. Adanya legitimasi tersebut maka Raden Patah dan Walisanga sudah menang atas putra-putra Brawijaya V yang lain yang masih belum masuk Islam.
*) Walisanga sudah diperbolehkan mendiami di wilayah Majapahit pada sekitar masa-masa awal pendirina Majaphit sehingga semakin lama semakin kuat dan bertambah banyak umatnya. Inilah bentuk toleransi Majapahit sebagaimana BTITHDM itu.
*) Agama Islam menawarkan penghapusan kasta. Agama Islam mempunyai pemahamanan bahwa derajat seseorang tergantung akhlaknya. Tentu menurut Islam, akhlak yang tertinggi adalah umat Islam yang bertakwa kepada Allah SWT. Menurut Saudara Bakungan (sumber), ternyata kasta itu bukan ajaran Hindu, itu buatan penjajah Inggris di India yang kemudian ditiru Belanda untuk memecah belah Bali, karena daerah yang paling sulit ditaklukkan Belanda hanya dua di Indonesia, yaitu Aceh dan Bali. Bahkan di Bali, Belanda harus kehilangan dua jenderalnya. Ini sangat memalukan Belanda, mengingat Bali pulaunya demikian kecil dan senjatanya yang sangat sederhana.
Jadi, demikianlah politik kasta disebarkan sehingga merusak Hindu sampai sekarang. Bodohnya lagi orang-orang Hindu juga menikmati kebodohan itu.
Dalam Hindu yang ada adalah warna, bukan berdasarkan pengetahuan mereka terhadap Hindu, tetapi murni adalah klasifikasi pekerjaan di masyarakat, buruh-pedagang-pemerintah-guru. Empat golongan pekerja inilah yang menopang negara berdasarkan keahliannya. Sedangkan kasta jauh berbeda, orang yang tidak ahli jadi pemimpin, tetapi karena keturunan penguasa bisa jadi pemimpin. Jadilah dia pemimpin turun temurun, tanpa keahlian namun karena garis keturunan.
Demikian pernyataan saudara kita, Kakang Bakungan mengenai kasta.
*) Konsep liyan, menurut Prof. Nengah dalam bukunya Genealogi Keruntuhan Majapahit, bahwa kekuatan Walisanga bertambah besar sehingga Syiwa-Boja dianggap liyan oleh Walisanga.
*) Perang Paregreg, perang raja Majapahit istana timur dan istana barat. Perang tersebut membuktikan bahwa Kerajaan Majapahit sudah tidak akur.
*) Asta Brata (sumber) dan ajaran luhur Hindu ditinggalkan oleh petinggi-petinggi Majapahit.
Sejarah masa lalu adalah kaca benggala masa depan. Kompas dua hari lalu menurunkan tulisan berjudul: Masa Kini Indonesia merupakan Masa Depan Majapahit.
Semoga bangsa Nusantara Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari kerajaan terbesar di Asia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H