Saya akan memulai seri alasan saya memilih dan tidak memilih terhadap pasangan calon pemimpin, baik di tingkat pusat maupun daerah, pada Pilpres 2004 dengan judul Alasan Saya Tidak Memilih Amien-Siswono. +++ Ketika tahun 1997-1998, di Yogyakarta saya sering mengikuti ceramah atau seminar/diskusi dimana Amien Rais menjadi aktor utamanya. Itulah asal muasal saya nge-fans sama Wong Solo itu. Bahkan sesekali saya ikut aura reformasi, meski hanya sebagai penonton bukan pelaku. Seperti contohnya, saya melihat dibakarnya boneka Soeharto di depan Balairung UGM oleh para mahasiswa; saya melihat ada demo ricuh di Bunderan UGM; saya melihat dari lantai tiga UPT Unit I Perpustakaan UGM adanya pergerakan pasukan Gegana dan penyemprotan Water Canon di Perempatan Mirota Kampus; bersama teman kos dalam situasi malam-malam mencekam ketika seputar kampus UGM dan UNY (dulu IKIP Negeri Yogyakarta) lampu padam dan masyarakat berjaga-jaga di setiap gang dengan membawa senjata tajam, sementara pasukan Gegana berlalu lalang di Jl. Kaliurang dan Jl. Gejayan (kini Jl. Affandi), tak lama kemudian Jl. Gejayan dimana terdapat Kampus IKIP Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma (USD), dan Hotel Radisson (kini Jogja Plaza Hotel) porak poranda dan adanya isu penangkapan aktivis mahasiswa di kos-kos, dan mendengar wafatnya mahasiswa FMIPA USD Mozes Gatutkaca; dan tentu saja yang fenomenal tak terlupakan adalah pada 20 Mei 1998 keikutsertaan saya untuk longmarch bersama ratusan ribu masyarakat DIY dan sekitarnya, terutama mahasiswa se-DIY dari Kampus UGM menuju Km 0 Jogja-Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang melalui rute Bunderan UGM - Mirota Kampus - Pasar Terban - Jembatan Gondolayu - Tugu - Kantor Kedaulatan Rakyat - Malioboro - Pasar beringharjo-Gedung Agung, saya dan kawan-kawan terhenti di sekitar Gedung Agung-Pasar Beringharjo, lamat-lamat saya melihat Ketua BEM UGM La Ode Ngkowe, Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X berorasi, di sepanjang perjalanan longmarch masyarakat memberikan air minum dan makanan/snack/kue kepada saya dan kawan-kawan, baik selama longmarch hingga selesai berjalan damai, inilah alasan juga saya mulai tumbuh benih-benih cinta pada Yogyakarta, pusat budaya Jawa sekaligus kota perjuangan dan pendidikan. Boneka Presiden Soeharto dibakar. (dok. Pameran Seni Rupa di Bentara Budaya Yogyakarta pada April 2012) Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. yang saya ketahui adalah alumnus sekaligus Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada; Memperoleh gelar Master dan Doktor dari Universitas di Amerika Serikat; Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1995-1998, Tokoh Reformasi 1998 sekaligus Deklarator Ciganjur bersama Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X; Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Namun kondisi politik dan perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang silang sengkarut praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian terpental dari posisinya di ICMI; Ketua MPR periode 1999-2004. +++ Pengetahuan saya terhadap Siswono Yudo Husodo adalah pengusaha sekaligus sangat konsen terhadap masalah pertanian; Menteri Negara Perumahan Rakyat periode 1988-1993; Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi periode 1993-1998; Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia 1999-2004. Dalam beberapa kesempatan di DIY dan sekitarnya saya mengikuti ceramah atau seminar/diskusi dimana Siswono menjadi narasumbernya. Saya juga membaca Siswono dari pemberitaan dan tulisan-tulisannya di media massa. Dengan demikian terbersit kesan bahwa Siswono perhatian dengan dunia pertanian, dunia dimana mayoritas masyarakat Indonesia menjalankan aktivitas hidupnya. +++ Namun dari banyaknya kelebihan-kelebihan kedua pasangan tersebut, saya memilih untuk tidak memilih pasangan tersebut dan juga saya tidak memilih keempat pasangan lainnya yang berlaga di Pilpres 2004, alias golput. Keempat pasangan capres-dan cawapres yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Wiranto-Shalahuddin Wahid, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Beberapa alasan saya tidak memilih pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, diantaranya: *) Inkonsistensi Amien Rais. 1) Amien bersekolah di Amerika Serikat yang kemudian Amien sangat vokal terhadap Multinational Corporation (MNC) asal USA seperti terlihat pada kasus Busang dan Freeport. Pendidikan di USA juga membuatnya diisukan jika menjabat presiden maka NKRI akan dijadikan negara federal sebagaimana Negeri Paman Sam. Penyebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia pun jika di-bahasa Inggris-kan berbunyi United State of Indonesia. Inilah kesalahankaprahan, padahal Indonesia bukanlah penyatuan dari state-state sebagaimana United State of America. 2) Amien sangat vokal atau selalu mengritik Orde Baru, tetapi Amien justru memilih pasangannya dari orang Orde Baru, yakni Siswono, meskipun Siswono sebenarnya, sepengetahuan saya, masih konsen terhadap wong cilik/petani-nelayan. 3) Amien membuat Poros Tengah yang membuatnya disebut "King Maker" sehingga berhasil mendudukkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, sedangkan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, partai pemenang Pemilu 1999 sebagai wakil presiden. Meskipun akhirnya pada tahun 2001, Megawati menjabat sebagai presiden menggantikan Gus Dur hingga tahun 2004. Kedua waktu tersebut, Amien Rais menjabat sebagai Ketua MPR. Meskipun naiknya Gus Dur dan Megawati itu bisa dibaca sebagai kehendak rakyat (DPR/MPR) tetapi peran Amien sebagai King Maker tampak sekali. Tentu, dalam bayangan saya, sulit orang yang inkosisten menjadi pemimpin di republik sebesar NKRI ini. *) Meragukan kemampuan Amien Rais. 1) Dalam sistem birokrasi yang sudah sistemik, masih banyaknya bercokol orang-orang Orde Baru, saya membayangkan Amien Rais akan kerepotan untuk mereformasi republik ini. Dari pada Amien hanya jadi target kesalahan, setiap kesalahan akan ditimpakan kepadanya, maka saya tidak tega melihat Pak Amien selalu disalah-salahkan, padahal tidak selalu setiap kesalahan itu dilakukannnya. 2) Adanya kesan bahwa Amien sangat Muhammadiyah, hanya cocok untuk warga Muhammadiyah. Muhammadiyah, dalam banyak hala, dalam kacamata saya, masuk dalam kategori Santri Putihan. Padahal WNI tidaklah hanya Muhammadiyah. Ada warga NU yang jumlahnya lebih besar dari pada warga Muhammadiyah. Ada pula warga organisasi masyarakat lainnya. Dengan posisinya sebagai ranking dua dalam jumlah hitungan warga ormas, saya membayangkan Pak Amien akan kesulitan mengatur warga Nahdliyin yang masih kental Gus Duriannya (terutama pro pluralisme dan multikulturalisme) dan ormas lainnya. +++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H