Aku pernah membaca biografi Jakob Oetama di sebuah blog mengenai tokoh-tokoh seantero Nusantara, bahkan beberapa ada tokoh dunia. Pada blog itu ditulis cukup lengkap profil pendiri Kompas yang ternyata alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada ini. Kompas sudah menggurita jadi banyak usaha berkat tangan dingin JO yang lahir di Borobudur, Magelang dan juga ada kontribusi alm. PK Ojong tentu saja. Borobudur tenar dengan Candi Buddha-nya yang terbesar di dunia. Borobudur pula yang melahirkan JO yang tenar seantero Nusantara, bahkan hingga mancanegara.
Walaupun Kompas kadang diplesetkan jadi Komando Pastur. Silahkan saja yang suka plesetan itu. Itu hak yang suka. Aku terus terang tidak suka pelabelan seperti itu. Aku melihat Kompas Gramedia Group sudah mendidik bangsa ini, termasuk aku karena suka membaca dan atau membeli koran Kompas, majalah Bola, dll, buku-buku terbitan KGG hingga 500 an tulisanku bisa nangkring di Kompasiana ini. Itulah jasa terbesarnya yang sulit untuk dilupakan. Meskipun aku mengakui ada hal yang memang aku tidak suka dengan Kompas Gramedia Group. Namun itu tidak akan aku ungkapkan di sini. Biarlah hanya aku dan Alloh yang tahu saja. Aku lebih tertarik menulis mengenai JO sebisaku, seingatku.
Sebagaimana aku memohon maaf kepada Cak Nun bila coretanku ini tidak tepat atau menyinggungnya. Kepada Pak JO yang lahir 27 September 1931 pula aku memohon maaf bila keliru atau menyinggung melalui tulisan singkatku ini.
Kompas tak pernah dibreidel. Itu karena taktik jitu JO. JO pula yang memainstreamkan jurnalisme damai = peace journalism. Itulah awal mula aku kagum kepada beliau.
Dalam blog tersebut, JO disebut oleh wartawan senior Rosihan Anwar telah menerapkan taktik jurnalisme siput atau keong atau apa istilahnya aku lupa. Jurnalisme pelan tapi maju. Aku lupa istilahnya.
Aku akan menguraikan maksud Rosihan Anwar menurut versiku.
Dengan taktik jurnalisme keong atau siput itu, Kompas tidak pernah dibreidel dan hebatnya senantiasa hidup, meski tidak sekritis Tempo, tetapi juga tidak semanut atau sebagai corong pemerintah sebagaimana koran-koran kuning.
Keong atau siput berjalan pelan-pelan, bila ada bahaya yang mengancam kepalanya bersembunyi di camgkanya yang ke mena-mana dibawanya. Tingkah laku siput atau keong itu ternyata memiliki filosofi yang sangat dalam. Hidup memang harus berjalan maju, harus tahu kapan saatnya disetel kenceng, harus tahu kapan saatnya disetel alon/lambat. Alon-alon waton kelakon, itulah filosofi Jawa. Bila ada bahaya yang mengancam eksistensinya, maka keong atau siput itu berhenti dengan bersembunyi di rumah (cangkang)nya. Namun dalam keadaan diam dan bersembunyi itu, keong atau siput tidaklah mati, keong atau siput itu masih hidup. Setelah bahaya lewat, maka keong atau siput akan berjalan dengan mengeluarkan kepalanya kembali.
Terma kasih Pak #JakobOetama. Matur nuwun, Pak JO...... Salam damai :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H