Munculnya ide/gagasan, yang sesungguhnya adalah 'akal busuk yang disaput oleh sanjungan' (njunjung wangi ning jebul ngaproki tai), maka dibuatlah mitos modern: 'Ranggawarsita adalah pujangga terakhir Jawa'.
Mitos modern tentang 'pujangga terakhir' itupun dipercaya begitu saja, bahkanlebih fatal lagi 'ikut menyebarluaskan dengan kebanggaan yang berlebihan, tanpa memahami apa yang sesungguhnya maksud dan strategi politik disebalik 'sanjungan' itu, sehingganggugu lan mituhukepada informasi yang disebarluaskan kaum kolonialis. Hal itu jelas-jelas menunjukkan betapa Konyolnya Wong Jawa yang mudah termakan isu kaum kolonialis, yang justru terus berlanjut hingga zaman Indonesia Merdeka. Ini menjadi bentuk Kekonyolan yang Keduapuluh.
Nama penulis risalah
Nama para filsuf
1.Ali Audah
2.Abdullah Ciptoprawiro
3.Djuretna Adi Imam Muhni
4.Toerty Heraty Noorhadi
5.I. R. Poedjawijatna
6.Soerjanto Poespowardjaja
7.M. Sastrapratedja
8.A. Surahardjo
9.Abdulrachman Wahid
10.Kuntara Wirjamartana
Agus Salim
Mangkunegara IV, Paku Buwana IX, Ranggawarsita, Yasadipura I
Notonagoro
Alisyahbana
Dewantara
Soekarno
Drijarkara
Hardjoprakosa
Hamka dan Natsir
Kanwa dan Tantular
Karya-karya dari ke-6 filsuf kebudayaan dan kesusastraan Jawa yang ditampilkan dalam Kamus Para Filsuf tersebut adalah:
1.Arjunawiwaha karya Empu Kanwa, dari abad ke-11, zaman Raja Airlangga, Kediri.
2.Sutasoma karya Empu Tantular, dari abad ke-14, zaman Raja Hayam Wuruk, Majapahit.
3.Dewa Ruci karya Yasadipura I, dari abad ke-18, zaman raja Paku Buwana III, Surakarta.
4.Wulangreh karya Paku Buwana IV, dari abad ke-8, zaman raja Paku Buwana IV, Surakarta.
5.Serta Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita, dari abad ke-19, zaman raja Paku Buwana VII, Surakarta
6.Wedhatama karya Mangkunegara IV, dari abad ke-19, zaman Mangkunegara IV, Kadipaten Mangkunegara-Surakarta.
Dengan adanya fakta sejarah di zaman Indonesia modern ini, yakni diakuinya 6 filsuf jawa dan 9 filsuf Indonesia itu, masih adakah orang-orang Jawa dan Indonesia modern, Orientalis, dan Barat yang masih akan terus melecehkan prestasi para pujangga Jawa kuno, Jawa Baru, dan Indonesia modern. Masih adakah yang tidak tahu dan ragu bahwa para filsuf kita itu tercatat dalam Kamus para Filsuf (Diction-naries Des Philosophies) yang diterbitkan oleh Press Universitaires de France, Paris, 1984? Konyol sekali bukan? Inilah Kekonyolan yang Keduapuluh Satu.
Sikap konyol orang Jawa yang kewirangan (malu sebab kena batunya/terpukul langsung tanpa ampun), karena orang-orang asing (Orientalis dan Barat) yang selama ini menjadi titik pusat sorotan dalam buku ini, atas ketidak simpati dan selalu menunjukkan sifat dan sikap umumnya yang apologetis dan selalu memandang rendah karya-karya pemikiran ‘kejawaan’. Siapakah aku ini sebenarnya? Kekonyolan saya ini adalah sebagai Kekonyolan yang Keduapuluh Dua.
Perasaan yang paling nelangsa (sangat menyedihkan, memasgulkan dan terasa pedih di hati) adalah: ‘Beliau berdua (Dr. Franz Magnis-Suseno dan Prof. P.J. Zoetmulder) pulalah yang dengan lugasnya memberikan peringatan keras tentang krisis legitimasi kebudayaan akibat dampak dari modernisasi yang kini melanda generasi penerus si Orang Jawa Konyol seumumnya, di masa kini. Mengapa bukan dari para sesepuh dan pinisepuh Wong Jawa sendiri yang ngelikake??? Betapa amat sangat bukan main Konyolnya Orang Jawa Modern ini! Yaaah, begitulahh..... kenyataannya menjadi Kekonyolan yang Keduapuluh Tiga.
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H